apakah anda senang berkunjung ke blog saya?

Selasa, 20 November 2018

Cerita Seorang Guru

IBU GURU, AKU BUTUH PENGAKUAN

Zaman-zaman saya jadi wali kelas sebenarnya paling mumet adalah saat mengisi nilai raport, karena saya termasuk guru yang tidak betah duduk lama. Namun demikian saya sangat menikmati saat mengisi kolom 'catatan wali kelas'. Biasanya kebanyakan wali kelas mengisinya dengan simpel, kan. Seperti:

'Tingkatkan belajarmu'

'Pertahankan prestasimu'

'Dan lain-lain'

Lalu saya iseng menulis sebuah deskripsi berisi tentang kelebihan siswa. Misal:

'Kamu anak yang cerdas, punya keingintahuan yang luar biasa,  jika kamu bisa memanfaatkannya dengan baik suatu hari kelak kamu akan menjadi pribadi yabg sukses.'

'Kamu anak yang aktif, suka hal-hal yang baru dan tidak pernah bisa diam itu menunjukkan kamu anak yang enerjik  (ini untuk anak yang selalu ribut dan suka berkeliaran di kelas).

'Kamu anak yang sopan, baik dan pandai menjaga perasaan teman terutama guru' (biasanya anaknya pendiam).

'Kamu anak paling rapi dan bersih. Ibu dan teman-temanmu sangat menyukaimu karena hal itu.'

Dan masih banyak catatan-catatan lain yang saya sesuaikan dengan kepribadiannya masing-masing. Tidak sulit menuliskan kelebihannya sebab setiap anak memang punya kelebihan masing-masing, sebandel-bandelnya anak, kalau kita mau jujur pasti punya kelebihan.

Bahkan saya pernah punya anak didik perempuan yang omongannya kasar, hampir tiap hari melawan guru, jarang hadir, suka bolos, jangan tanya soal kemampuan belajar. Hasilnya hampir nol. Pokoknya hampir sulit mengungkapkan apa kelebihannya. Mungkin satu-satunya hanya ia terlihat cantik. Mirip Acha septriasa. Lalau saya tulis:

'Kamu anak yang cantik. Mirip artis  Acha Septriasa. Ibu sangat mengidolakannya. Semoga ibu pun bisa mengidolakanmu sebagai siswa yang mampu berhasil seperti Acha di suatu hari kelak.'

Hasilnya?

Mereka senyum-senyum GR membacanya. Karena mereka tahu itu jujur tentang mereka. Yang pintar, yang (maaf) mungkin sering kita bilang bodoh, yang baik, yang bandel, yang pendiam semuanya tampak bahagia membaca ada dua baris kalimat pengakuan tentang diri mereka. Saya tidak dengar ada yang bahas nilai matematika, bahasa inggris dan lain-lain. Semua sibuk saling bertanya:

"Apa yang ibu tulis untukmu?"

"Catatan kamu apa isinya?"

"Cieee, kamu dibilang anak yang pemurah hati dan gak pelit. Tapi bener sih. Kamu selalu kasih minjam tipex ke aku."

Bahkan anak yang usil berkata:

"Ah, ibu wali kelas bohong tuh bilang kamu baik. Baik darimana, dari Hongkong? Perasaan kamu paling bandel di kelas."

"Enak aja, emang aku sebenarnya baik kok, tapi tergantung gurunya."

Lalu di semester dua karena waktu mepet saya tidak sempat menuliskan deskripsi kelebihan mereka lagi. Saya pikir biasa aja. Tahu-tahu semua protes.

"Bu, kok gak ada catatannya?"

"Ah, gak seru Bu. Enam bulan aku cuma mau nunggu itu."

Bahkan yang juara satu berkata:

"Yaaah, padahal itu yang aku tunggu-tunggu, Bu. Kalau nilainya sih udah bosan lihatnya. Dan segitu-gitu aja. Kami kumpul lagi ya Bu raportnya, biar ibu isi catatannya."

Saya kaget. Di semester lalu saya cuma iseng. Ternyata anak-anak meresponnya lebih dari sekedar yang saya bayangkan. Mereka menginginkannya.

Akhirnya saya mulai berpikir dan mengambil kesimpulan sendiri bahwa anak-anak lebih membutuhkan sebuah pengakuan tentang diri mereka daripada sebuah nilai. Mereka butuh pujian yang jujur.

Saya justru takut selama ini anak-anak didik saya sebenarnya haus akan sebuah pengakuan hal baik tentang diri mereka. Sejak itu setiap jadi wali kelas selalu saya tuliskan tentang kelebihan mereka. Dan reaksi semua murid selalu sama. Tampak bahagia. Senang. Dan bangga.

Bahkan saya mulai menerapkannya tidak hanya di catatan raport, tapi sebisa mungkin di setiap penilaian soal. Atau dalam interaksi sehari-hari.  Semisal lebih banyak mengajak mereka ngobrol (di luar dari pelajaran) lalu diselipkan pengakuan-pengakuan kebaikannya. Misal:

"Eh, serius lho, Ibu paling suka tiap kali lihat kamu habis jajan sampahnya langsung di taruh ke tong sampah."

"Entah kenapa Ibu kok bangga ya punya murid kayak kamu yang suka meminjamkan pulpen sama Tipe-X ke teman-teman. Pasti kamu nanti akan jadi orang yang penolong."

"Ya ampuuun, suara kamu lagi teriak di kelas merdu banget. Mau gak Ibu angkat jadi semacam Jubir Ibu. Jadi nanti kalau ada apa-apa yang mau Ibu sampaikan, kamu yang menyampaikannya ke teman-temanmu."
(Untuk hal seperti ini, suruh yang paling ribut dan gak mau diam. Sehingga si anak merasa dipercaya mampu melakukan sesuatu sesuai kemampuannya).

Banyak lagi yang lain. Masalahnya terkadang kita terlanjur sewot dan dongkol sama anak yang bandel, hingga ogah rasanya mau muji-muji. Jangan, Bu. Mereka punya porsi yang sama untuk kita senangi. Punya hak yang sama untuk disayangi.

Saya tidak tahu apa tindakan ini sesuai dengan aturan administrasi kurikulum atau tidak. Atau mungkin juga banyak guru yang sudah melakukan hal serupa.

Hal ini sebenarnya tidak hanya bisa diterapkan oleh seorang guru pada murid. Orangtua kepada anak juga bisa. Terutama ibu yang banyak berinteraksi dengan anak. Yuk mari yuuuuk ...  kita lebih membuka diri membaca kelebihan sang anak dan tidak gengsi mengakuinya.  Tidak melulu membicarakan kelemahan mereka. Kelebihan di sini bukan semata-mata tentang prestasi ya, Bu. Melainkan cenderung ke sifatnya sehari-hari.
_
Rina April Melina (Guru yang masih harus banyak belajar)

Senin, 12 November 2018

Pertamaku

Kau adalah pertamaku
Walau mungkin aku tak pernah masuk dalam perhitunganmu
Bukan salahmu, karena aku yang memulai dahulu
Salahmu adalah kau tak berusaha mengakhirinya
Sedang aku bingung dengan kita yang sekarang

Kenapa kau bersikap seolah aku penting?

Kau tahu?
Karenamu aku terjebak dalam kamuflase yang aku ciptakan sendiri
dan sekarang aku lupa bahwa kaulah yang sesungguhnya
Kenapa kau malah menunjukkan kalau kau mengingatku?
Disaat aku benar-benar lupa akan dirimu
Disaat aku sudah tak berbinar-binar lagi berbincang denganmu

Jumat, 22 Desember 2017

PERTENGKARAN



Aku tak tahu apakah ada warna tuk lukiskan rasaku
Lukiskan lukaku
Kebas bibirku merapalkan namamu
Kau anggap angin lalu
Aku mengejarmu, hendak menyejajari langkahmu
Tapi demi mendengar langkah kakiku
Kau bukan hanya berlari namun juga terbang menjauhiku
Terbang jauh sejauh usahaku membuang kelu
Seletih pikir walau ku kayuh teguh
Tak kusangka manismu hanya dulu
Kau buat ku mengeja namamu, mematrinya dalam dadaku
Bersimpuh bahkan memilihmu
Aku tahu, bukan salahmu kau tak mau disalahkan
Karena aku yang terayu
Aku laru
Bila harus bercerai
Aku tak punya tujuan selain kamu
Jangan kunci bilikmu
Aku tiada tempat berlabuh selain kamu
Bukalah pintu
Mendekatlah padaku
Aku masih mencintaimu

Minggu, 13 Maret 2016

Check Your Heart



Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim
Betapapun kulukiskan keagungan-Mu dengan rangkaian diksiku, rangkaian diksiku tetap kuyu bila kusandingkan dengan keagungan-Mu. Engkau yang Maha Agung, yang semua makhluk akan tenang hatinya bila dipangku diatas keagungan-Mu. Engkaulah Allah Tuhan Semesta Alam.
Allah yang memberi kita mata, yang dengannya Allah perintahkan kita untuk melihat bumi dan langit, silih bergantinya siang dan malam untuk memikirkan betapa indahnya ciptaan-Nya, betapa besarnya nikmat-Nya, bila saja kita mau berpikir tentang itu. Tapi yang ada, yang telah nyata terjadi, dan sering kita ulangi adalah kita menggunakan mata kita untuk melihat drama korea, drama malaysia, anime, sinetron-sinetron, kita rela, tidak risau sama sekali menghabiskan waktu kita berjam-jam mematut diri di depan laptop, televisi, terkadang malah bangga karena sudah tau tentang drama korea yang ini, sudah tau kelanjutan cerita anime yang beratus episod. Hanya karena kita salah menggunakan mata kita, begitu banyak cabang dosa yang kita ciptakan, begitu banyak bibir kita yang sibuk bercerita tentang apa yg mata kita lihat, sehingga mungkin kita menarik teman kita untuk melihat apa yang kita lihat dan terkadang kita masih belum sadar bahwa kita telah menarik teman kita dalam dosa, kalaupun tersadar lepas mengucap “Astaghfirullahhaladzim” besoknya kita ulang. Masih melihat drama korea, masih melihat anime, kadang hati yang merasa berdosa kita ketepikan, dengan alasan ini hiburan atas kepenatan, tidak apa apa, begitu hebat kita membuat pembenaran. Padahal Cita-cita kita pasti, ingin masuk surga. Tapi kalau kita seperti ini neraka sair mungkin begitu merindukan lidah kita untuk ditebas dengan pedang apinya yang bergejolak merah,  atau mungkin jahannam tak sabar untuk mencongkel mata kita dengan linggisnya yang membara. Diluar sana, banyak orang yang hanya mengenal satu warna dalam hidupnya, “hitam”, ya mereka buta, dan kita yang Allah beri kita mata yang dapat melihat, mata yang sehat, kita seringkali menggunakannya untuk melihat dan mengkritisi hal-hal remeh temeh yang menyeret kita ke jurang maksiat, menarik kita ke pucuk nista. Masihkah kita sombong, kufur nikmat dengan menggunakan mata kita untuk melihat yang tidak semestinya kita lihat? Bayangkan bila Allah cabut nikmat penglihatan dari diri kita?

Allah yang memberi kita telinga agar kita dapat mendengar seruan-Nya, agar kita dapat mendengar lantulan kalam-Nya yang suci tiada tara. Tapi yang ada kita sering sekali menggunakan telinga kita untuk mendengar musik-musik galau, menyeret hati dalam kegalauan dalam, memikirkan halhal yg tak patut dipikirkan. Kadangkala telinga kita sibuk mendengarkan gosip murahan.
Diluar sana ada orang yang lemah pendengarannya, atau bahkan tuli, susah untuk mendengar, bahkan tidak bisa mendengar dan kita masihkah kita mendengarkan sesuatu yang sia-sia atau malah sesuatu yang bakal menambah daftar panjang keburukan kita di buku Atid? Bayangkan bila saat ini Allah mencabut nikmat pendengarannya dari diri kita, mungkin sekarang kita tidak dapat mendengarkan berita kedzaliman Israel kepada saudara kita di Palestina.
Allah Yang Maha Pemurah telah memberi kita mulut untuk membaca kalam-Nya, untuk menyeru manusia kepada kebaikan, untuk bertasbih memuji-Nya, untuk berdakwah. Lantas sudahkah kita pergunakan mulut kita dengan benar, kawan? Mulut diletakkan Allah di depan, tapi seringkali ia berbicara di belakang, menguak aib si B, mencela si C, menghakimi si D. Bayangkan bila saat kita menghibah, malaikat Izrail datang dan mencabut nyawa kita, sebelum kita sempat bertaubat, bayangkan betapa sakitnya nyawa dicabut, kaki kita menjadi dingin menjalar sampai ke atas hingga nyawa kita benar-benar utuh dicabut, lalu kita di bawa ke altar kubur ditanya segala hal hingga sampai pada bagaimana kita menggunakan mulut kita, kita sendiri, tidak ada ayah, tidak ada ibu, kita benar-benar sendiri di penghakiman Allah. Lantas, masihkan kita sombong dengan nikmat Allah?
Diluar sana banyak orang bisu, banyak orang sumbing, dan lain sebagainya, masihkah kita lupa untuk bersyukur kepada Allah Yang Maha Pemurah?

Kedua tangan yang Allah berikan seringkali kita gunakan untuk kejahatan, tangan kita yang sering usil menjawil teman, memukul, kita lupa, tak kesah pada apa yang dirasakan teman. Menyakiti saudara kita, kita anggap itu candaan, tak menyakitkan, padahal seringkali tangan kita menyakiti, dan kita tak sadar, kita masih lelap dalam tidur panjang. Kita sering lupa kalau sedang tertawa. Tertawa sepenuh mulut sampai kita lupa pada kematian yang senantiasa mengintai kita. Kita seringkali membuang waktu untuk menceritakan kisah lama yang mungkin indahnya masih berbekas hingga sekarang, kisah si A yang begitu menyayangi kita, yang begitu perhatian, kita ceritakan keburukan-keburukan orang, tidakkah kita berpikir bahwa waktu kita sangat sangatlah sedikit, sangatlah sempit, lalu kenapa kita masih juga menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan malah mendatangkan mudarat?

Kaki kita seringkali melangkah ke tempat-tempat makan, jajan terus. Padahal di luar sana jangankan untuk jajan, makanan nasi saja masih banyak orang yang susah mendapatkannya. Mereka harus memulung dulu, untuk mendapatkan beberapa rupiah yang bagi kita kepingan-kepingan rupiah itu amatlah tak ada artinya. Ada juga mereka yang mengais makanan dari tong sampah, bahkan mencuri demi memenuhi kebutuhan yang sejengkal. Masihkah kita berlebih-lebihan dalam berbelanja?
Dihadapan kita terhidang makanan tapi kita sering mengabaikannya, entah kenapa kita malas sekali untuk makan, padahal cuma masukin makanan ke mulut. Apalagi dulu waktu SMA, kita mungkin jahil sekali dan sering sekali mendzalimi diri kita sendiri dan orang terdekat kita. Setiap pagi sudah terhidang makanan hangat yang baru dimasak, yang ketika orangtua kita akan memasak mereka menanyakan pada kita masakan apa yang kita inginkan, tapi ketika makanan sudah terhidang, kita malas2 mendekatinya, kita pura2 makan dengan mengotori piring kita dengan kuah ataupun sambal yang telah dimasak. Kita benar-benar jahil dan mendustakan nikmat Allah. Sekarang kita sering tabzir, berlebih-lebihan dalam makan dan minum, sering makanan dibuang percuma, susu dibuang percuma, teh dibuang percuma.
Kita sering kasar bila berbicara pada orangtua kita, tidakkah kita sadar bahwa mereka terluka dengan kekasaran kita? Padahal mereka memberi kita segalanya, mereka tak ingin kita kurang suatu apapun, bahkan sebab mereka mencari harta duniawi adalah karena kita, mereka mempersiapkan segalanya untuk kita sejak kita masih direncanakan untuk jadi anak mereka, mereka bekerja keras mencari dunia untuk kita hingga sedikit sekali mereka mencari akhirat untuk mereka. Pergi pagi, pulang siang, pergi lagi, pulang lagi, di rumah pun orangtua kita sibuk dengan pekerjaannya. Ya Allah apabila dunia menarik2 orangtua2 kami dengan kemegahan hartanya, maka tariklah mereka kembali ke jalan-Mu dengan cinta dan kasih-Mu. Kami sadar dunia bukanlah segalanya, bawa mereka menuju keridho’anmu Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim.
Kita seringkali mengajari adik-adik kita dengan marah-marah, membentaknya, kasar hingga mereka menangis sedih seperti baru terpancar darah dari lukanya. Ya Allah ampuni kami yang lalai, jadikanlah kami kakak2 yang mampu menuntun adiknya menjadi anak shaleh dan shalehah.
Kita sering sekali menyakiti hati saudara kita dengan lisan kita yang tajam laksana pedang, dan sering kita tak sadar bahwa kita sedang menyakiti hati saudara kita. Beribu kata tajam kita tandaskan langsung dihatinya membuat lukanya menganga, dan kita masih belum sadar bahwa saudara kita adalah objek yang kita lukai.
Kita seringkali menyiksa mata kita dengan berlama-lama mematut diri di depan laptop menonton film-film yang sedikit sekali manfaatnya, mengapa kita tidak tilawah? Menghafal ayat? Mengapa kita masih saja lalai? Kita masih banyak tidur padahal waktu tidur kita bisa kita kurangi dan memperbanyak melakukan hal-hal bermanfaat.
Kita masih sering tidur saat adzan sudah berkumandang, tidakkah panggilan itu mengetuk-ngetuk kalbu kita? Kita masih sering berbicara bahkan tertawa dan teriak saat adzan sudah dikumandangkan. Nanti ajalah bangunnya “masih adzan”. Ada waktu shalat yang memang panjang tetapi sadarkah kita bahwa umur kitalah yang pendek. Yang harus selalu kita ingat adalah bahwa kita berjalan menuju kematian, setiap detik, dan seringkali kita menganggap kematian kita masih lama lalu kita hanyut lagi dalam dosa dan kelalaian.
Ali bin Abi Talib mengatakan “Sesungguhnya kematian terus mendekati kita, dan dunia terus meninggalkan kita. Maka, jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak2 dunia. Sesungguhnya hari ini adalah beramal dan tidak ada hisab. Dan esok adalah hisab dan tidak ada lagi beramal.”

Sabtu, 10 Oktober 2015

KISAH NYATA TENTANG ALLAH




Mau nulis ah…(ambil laptop, ambil charger sama cok sambung)
Yah charger ini kenapa lagi kok gak bisa (chargernya emang suka dibanting dulu baru mau nyambung ke laptop)
Tapi kali ini udah dibanting, dibacain surah-surah, basmalah, dielus-elus, diputar-putar gak mau juga nyambung ke laptop (laptopnya gak bisa hidup tanpa charger)
(Ke kamar kakak kost) kak fatma coba charger ini di laptop kakak ya (laptop aku Toshiba, laptop kakak itu Lenovo, charger Lenovo sama Toshiba sama)
Gak masuk dek (oh berarti emang chargernya yang gak waras)
Charger kakak bisa?
Udah longgar dek, jadi sering nyambung-enggak-nyambung-enggak gitu
Oh ya udah deh kak.
(Ke kamar adek kost) dek pakai laptop apa?
Toshiba kak
Boleh pinjam chargernya? Charger kakak gak bisa dipakai.
Nih pakai aja kak (ngasihin charger ke aku)
Aku colokkin ke laptop, gak nyala lampu di laptop aku. Gak nyambung, aku cabut dari cok sambung, aku ganti pake cok sambung yang lain, gak hidup juga. Aku baca basmalah gak hidup juga.
Mulai merengek-rengek dekat Allah
Mulai takut laptop aku yang bermasalah (udah setengah frustasi)
Ya Allah tolonglah hidupkan laptop aku, sama siapa lagi aku minta tolong kalau enggak sama Engkau. Tolong ya Allah, aku merengek-rengek dan ngulang kata itu berulang kali sambil terus nyoba nyolokin charger ke laptop aku. Gak nyala juga lampunya.
Ya Allah aku janji kalau laptopnya engkau hidupkan, laptop itu gak akan melalaikan aku untuk beribadah kepadaMu, akan aku gunakan untukMu, aku akan lebih rajin hafal Al-Qur’an, beribadah, aku akan lebih hemat dan banyak sedekah, tolong ya Allah. Aku terus merengek-rengek sambil setengah nangis (emang sedih banget, tapi entah kenapa air mataku gak netes, tapi ini seriusan)
Aku coba colokin lagi tapi tetep gak bisa nyambung.
Aku ulang kata-kata itu lagi, sambil nambahin (nyalain ya Allah ntar aku sedekah) sambil terus merengek setengah nangis tanpa air mata.
Aku coba colokin lagi
Masih belum nyambung dan tiba-tiba aja mataku menangkap sesuatu warna merah di kepala charger si adek yang aku pinjam itu. Di tongolan warna merah itu ada (1 0), yes tongolan power yang ternyata masih 0. Terus aku tekan dan sekarang jadi 1, lampu laptop aku nyala, aku tekan power laptop-nyala. Alhamdulillah aku seneng banget. Padahal sebelumnya aku juga udah bongkar pasang batre laptop aku, ngelus-ngelus, mantengin, bacain basmalah sama ayat-ayat, dan aku merasa saat ini Allah benar-benar dengar aku, di dekatku bahkan Dia lebih dekat denganku dari urat nadiku, Dia sangat peduli denganku. Ya Allah aku mencintaiMu, kau Tuhanku, Tuhan Yang Maha Esa, aku bersyukur bisa memujaMu, aku tenang dalam naunganMu. Aku mencintaiMu.
Sebenarnya aku sering ngalamin kejadian kayak gini, waktu hapeku lupa ngelatak dimana (sering), waktu lupa dimana ngeletak anting-anting, waktu lupa dimana ngeletak kunci motor dan aku memang selalu mempercayai bahwa hanya Allahlah yang bisa nolong aku, karena dia Tuhanku, aku ini hambanya yang lemah banget.
Semoga kisah ini bisa membuat siapapun berkaca bahwa Allah memang dekat sekali, dan cinta sekali dengan hambaNya.

sekitar jam setengah 10, sabtu 10 oktober 2015 di kamar kost

Jumat, 02 Oktober 2015

Kamu (2)

Wahai kumbang, bisakah sekali ini saja kau tidak menjenguk bilik hatiku? Menggedor dan mengobrak-abriknya sekenamu. Aku tak nak langsung lihat wajahmu. Kau sumber segala kekacauan dalam benakku sejak pertama ronamu tertangkap mataku.
Dulu, senyummu itu syaitan yang terus merayuku untuk bersimpuh dan mendambamu. Matamu itu bola lampu yang membuat sakit bila kumemandangmu, namun aku juga tak bisa terus-terusan dalam gelap.
Kau hanya akan melukaiku dengan memanggil dua kata yang tersemat di belakang namaku, mengingatkanku pada seorang guru yang dulu sering mengelus kepalaku bagai anak kandungnya.
Mengapa kau senang sekali menawanku dalam rasamu yang susah sungguh kuselami?
Dengar, aku membencimu dengan rasaku, aku merindukanmu dengan kalbuku, dan kau mengusikku dengan apapun dirimu.

Kamu (1)

Heh kamu!
Ia kamu!
Jangan coba-coba memekarkan kuncup menjadi bunga!
Bermodal dusta
Dengar ya! Aku tidak menyukaimu.
Aku tak suka berbagi rasa denganmu, dan kamu tak usah mengiba.
Tak akan pernah bisa kau rebut sedikit saja ruang dihatiku dariNya
Kenapa kau mesti memintaku membawakan pedang-pedang milikmu?
Apakah kau sengaja ingin leherku tertebas?
Mengapa kau menyapaku pada malam-malam bisu?
Apakah kau sengaja merusak tidurku?