Aku
berjalan gontai dengan tatapan kosong menyusuri sebuah pusat perbelanjaan dan
tiba-tiba dari arah yang tidak kusangka-sangka, “bruggghhhhhhh” seorang
laki-laki menabrakku dari arah arah yang berlawanan, sepertinya ia
terburu-buru, dia membuat buku-buku yang aku pegang jatuh dan berserak, aku
mengangkat kepalaku dan menatapnya “kalau jalan liat-liat dong, jangan asal
tabrak aja”, pada saat yang bersamaan juga dia mengangkat kepalanya sambil
berkata “maaf, maaf, aku terburu-buru”. Akhirnya kami saling pandang, dan
beberapa saat lamanya membisu layaknya patung, kemudian aku tersadar, tadinya
aku berusaha mengingat masa lalu, sepertinya aku pernah mengenal dekat
sosoknya, wajahnya tak asing lagi dimataku, suaranya tak asing lagi
ditelingaku.
“diaz?”
“mutia?”
“Kamu
beneran diaz?” tanyaku.
“ya,
aku diaz teman SMPmu”
Sudah
11 tahun kami tidak pernah berjumpa, dan akhirnya dipertemukan ditempat ini
dalam keadaan yang menjengkelkan, meski sekarang dia sudah dewasa, umurnya
sekitar 26 tahun, aku masih dapat mengenalinya, wajahnya tidak berbeda jauh
dari yang dulu, kuakui dia semakin tampan, walaupun tetap menyebalkan.
Aku
mengambil buku-bukuku yang dibantu olehnya, dia terus menatapku sejak tadi dan
matanya tak juga hengkang dari wajahku, kemudian dia menarik tanganku. Kami
pergi ketaman kota, dan duduk menikmati sore disana, sambil bertukar cerita.
“Selepas
SMP, kamu SMA dimana yas?” tanyaku.
“dipekan
baru, aku tinggal sama nenek, kamu dimana muti?”
“aku
SMA dimedan yas”
“oh,
ya makin cantik aja ya, tapi makin cerewet juga,hahaha”
“gak
lucu, kamu masih menjengkelkan, dan setiap bersamamu rasanya aku ingin marah
saja”
“tuh
kan, marah lagi, cerewet lagi, dari dulu gak berubah-berubah”
Aku
memukulnya, seperti aku memukulnya dulu “aw, sakit mutiku yang cantik” ucapnya
sambil manja sambil mentoel pipiku. Membuat mata kami saling menatap satu sama
lain, hingga membuatku bungkam seluruh bahasa dunia, begitu dekat jarak kami,
hingga dapat kurasakan desahan napasnya, aku cepat berbalik arah, tapi dia
menggenggam tanganku, kurasakan getaran-getaran yang menjalar dari
jemari-jemarinya, beberapa saat lamanya kami diam, dan menikmati perasaan yang
mungkin enggak pernah singgah, karena SMP dulu bisa dibilang kami musuhan,
sering bertengkar. Aku tersadar kemudian menarik tanganku cepat-cepat “apa sih
pegang-pegang!” ucapku sinis. “yee GR, tadi ditanganmu ada semut, mau aku
ambil, tapi kamu tuh kesempatan megang tanganku” jawab diaz. “ih, udah salah,
mutar balikkan fakta lagi, dari dulu gak pernah berubah, menyebalkan!” ucapku
sambil ngeloyor pergi meninggalkan diaz, yang masih diam terpaku.
Aku
berjalan pulang dengan hati kesal, sampai dirumah aku bergegas mandi kemudian
tiduran dikamar karena aku merasa lelah, dan semenjak bertemu diaz lelahku
semakin berlipat ganda. “Ah, mengapa aku kesal dengan diaz?” tanyaku dalam
hati. Bukankah masa SMP itu sudah lama berlalu, lantas mengapa aku masih
bertingkah seperti anak kecil, aku kembali mengingat masa-masa SMP, dulu aku
sekelas dengan diaz, aku adalah sekretaris kelas dan diaz adalah ketua kelas,
keadaan itu semakin membuat kami sering bertengkar, ntah karena apa saja, tapi
setiap aku dan diaz bertemu pertengkaran tidak pernah terelakkan, aku masih
ingat masa-masa SMP dulu tak terlupakan, apalagi semua kenakalan diaz, dulu aku
pernah bergumam ingin membalasnya semua kejahatannya, aku masih ingat ketika
aku mau duduk dibangkuku, diaz menarik bangkuku, hingga akhirnya aku jatuh
terhempas dilantai, sakit sekali rasanya, tapi diaz malah, tertawa mengejekku,
dia benar-benar sengaja membuatku muntab, ingin rasanya kuhajar dia waktu itu,
aku mengejarnya, tapi dia berlari begitu kencang hingga tidak dapat terdahului
olehku. Aku berbalik arah kekelas dan sejak saat itu aku tidak berteman dengannya
selama 3 hari, ingat bahwa islam tidak membenarkan orang yang memutuskan tali
silaturahmi, aku kemudian memaafkannya, dimaafkan dia bukannya berubah, malah
semakin menjadi-jadi jailnya.
Lamunanku
buyar seketika, mendengar ponselku bordering. Pesan singkat dari nomor tak
dikenal “sore menjelang malam cantik, sudah mandi?”. “siapa?” aku membalas
pesannya. “aku adalah kamu, kamu yang hidup dihatiku” balasnya. “O” balasku
sesingkat mungkin, malas meladeni orang gila, pikirku.
Selesai
shalat isya aku tidur. Aku tertidur pulas hingga bangun kesiangan, aku bergegas
mandi, aku bekerja bank BTN dan juga menghandle percetakan yang aku rintis
sejak 6 tahun yang lalu.
Ditempat
kerja, aku teringat akan berkas-berkas pentingku yang aku letakkan didalam
buku-buku, mungkin tertinggal dirumah pikirku. Lama aku tercenung, kemudian
seseorang memegam bahuku dari arah belakang, aku terkejut dan langsung berbalik
arah, “diaz? sedang apa kamu disini?”
tanyaku. “nih buku-buku kamu, kemaren ngeloyor aja, ninggalin bukunya dibangku,
yang tadi malam SMS itu aku, aku nemuin kartu nama kamu didalam salah satu
buku”. “oh, makasih” ucapku pendek. Langsung berbalik arah mau pergi. Diaz
menarik tanganku, hingga mataku membentur matanya, ada getaran dimatanya, aku
dapat merasakan getaran itu, karena frekuensinya begitu kentara terpancar. “aku
jemput dirumahmu ya, kita makan malam” ucap diaz lirih. Dia ngeloyor pergi
tanpa sempat aku menjawab. Padahal nanti malam, aku ada janji sama tunanganku,
mau makan malam dirumahnya bersama ayah dan ibuku juga. Ah, tapi biarlah, salah
siapa langsung pergi, hitung-hitung balas dendam,hahaha.
Langit
mulai dihiasi pancaran jingga, dan malam mulai merambah bumi dengan segenap
suasana magisnya, bintang bertabur dilangit, bulan bersinar dengan segela
kerendahan hatinya, indah, menawan, dan mempesona keadaan langit malam ini. Aku
memakai dress biru yang sepadan dengan warna kerudungku. Aku menunggu azzam
tunanganku sambil menonton TV, tak berapa lama dia datang, kami pun langsung
pergi kerumahnya.
Ibu
azzam sibuk ingin mempercepat pernikahan kami, katanya ia takut aku diambil
orang, ada-ada saja ibu azzam. Makan malam yang menyenangkan, dengan calon suamiku, kedua orangtuaku, dan kedua
calon mertuaku, aku begitu menikmati malam ini, malam yang romantic dan penuh
dengan nuansa kekeluargaan, ternyata suasana malam ini seindah bintang-bintang
dilangit. Makan malam diakhiri dengan perbincangan antara orangtuaku dan
orangtua azzam. Kemudian kami pulang diantar azzam. “I love you sayang” ucap
azzam dipenghujung pertemuan kami malam itu, “I love you too sayang” ucapku.
Dikamar
bayang-bayang diaz kembali merayapi pikiranku, dan menari-nari dimataku. Aku
teringat, bukankah tadi pagi diaz bilang mau mengajakku makan malam, tapi dia
tidak ada datang kerumahku, ah, biarlah
Pagi
yang indah, ini hari sabtu, aku tidak masuk kerja hari sabtu. Hari ini aku
tujuanku toko buku. Lagi-lagi ditoko buku aku bertemu diaz, rasanya allah
senang sekali melehat kami bertengkar, hingga aku harus selalu dipertemukan
dengan diaz. “tadi malam kenapa gak jadi datang?, memang sengaja bohong kan?,
jail kali!, untung aku memang gak percaya dari awal!” ucapku pada diaz.
“bukankah seseorang telah menjemputmu tadi malam?” jawab diaz santai dan lirih.
“sok tau kamu yas” ucapku. “ya taulah, aku tadi malam kerumahmu, karena sudah
ada orang lain, aku pun pulang, menyenangkan ya tadi malam” jawab diaz. “hmmm,
ya begitulah”. Selesai aku membeli bukuku, aku diaz makan siang bareng di
sebuah tempat makan yang cukup romantic, tempat pilihan diaz, aku juga heran
kenapa aku diajak kesini. Bukan mau mengkhianati azzam dengan makan bareng diaz,
lagian diaz cuma teman lamaku.
Setelah
pesanan datang, kami pun memulai acara
makan kami, aku mulai menyuapkan makanan kemulutku hingga beberapa suap, tetapi
kemudian aku tersadar diaz menatapku tajam, tak berkedip, “diaz? Kamu kenapa?”,
diaz tetap diam dan tak menggoyahkan pandangannya sedikit pun, “diaz?” ucapku
sedikit lebih keras. “eh,oh,eh, kenapa muti?” jawab diaz. “kamu itu yang
kenapa, bengong melompong gak jelas” ucapku.
“aku,
aku,aku sebenarnya” ucap diaz.
“sebenarnya
apa?” jawabku bertanya.
Diaz
menggenggam erat jemariku, seolah tak ingin melepas genggamannya, dia mulai
bercerita “kamu ingat gak? aku dulu jahat kali sama kamu, aku pernah basahin
seragam kamu pake es jerukku, aku sering dengan sengaja nabrak kamu, hingga
kamu jatuh, aku sering mengejekmu anak manja, aku pernah menguncimu dikelas
ketika semua orang sudah pulang, aku pernah menarik bangkumu sewaktu kamu mau
duduk, hingga kamu terjatuh, aku sering melemparmu pakai kertas hingga dibawah
mejamu banyak sampah, dan kau dimarah guru. Kamu ingat itu kan? Mungkin kamu
dendam atau bahkan sangat membenciku, aku sadar aku memang pantas untuk kamu
benci. Tapi ingatkah kamu, ditasmu, pernah ada banyak permen say, yang semuanya
ada tulisan I LOVE YOU, kamu ingat muti? Itu aku yang memasukkan ketasmu. Kamu
ingat ada begitu banyak puisi yang setiap pagi kamu temui diatas mejamu? Itu
dari aku muti. Kamu ingat ketika pulang les sore, ayahmu tidak datang
menjemputmu, lalu aku yang mengantarmu pulang, kamu ingat muti? Itu semua
karena aku tidak pernah pulang sebelum kamu dijemput ayahmu, aku sangat
mencintaimu muti, dan kalaupun aku jail dan nakal itu hanya karena aku ingin
merebut perhatianmu muti, maafkan aku muti? Aku memang terlalu egois dan gengsi
hingga perasaan ini aku pendam begitu lama, sejak tamat SMP aku selalu
mencarimu muti, aku menyesal karena tak sempat mengungkapkan perasaanku padamu,
aku tak lagi tahu kabarmu, telah banyak aku berkelana kelain hati muti, tapi
tak pernah kurasakan hangatnya cinta sebagaiman cintamu yang tak pernah
hengkang dari setiap penjuru hatiku, aku mencintaimu sejak kita dipertemukan
pertama kali sewaktu pendaftaran, aku tak bisa berpaling kehati manapun muti”
Mendengar
perkataan diaz jantungku bergetar hebat,
getarannya begitu kuat hingga mungkin menjalar sampai ketangan diaz,
diaz belum melepaskan genggamannya, jantungku semakin gak karuan, ingin rasanya
aku berlari dari tempat ini, aku menundukkan kepala, tak berani menatap mata
diaz. Diaz melanjutkan ceritanya, “muti, andai kamu tahu, aku sudah malang
melintang kesana kemari mencarimu, aku mencintaimu muti, kali pertama kita
bertemu, sebenarnya aku diberitahu firman teman sekelas kita bahwa ia
melihatmu, makanya aku berlari dan begitu terburu-buru, karena aku benar-benar
takut muti, aku takut tak lagi bisa melihatmu, tak lagi bisa menatap matamu
yang indah”. Cerita diaz semakin membuatku menundukkan kepala, bodohnya aku
tidak mau pergi dari tempat itu, padahal aku tunangan azzam, berdosanya aku
ini. Aku cepat-cepat menarik tanganku dari genggaman tangan diaz, tapi ternyata
diaz tak semudah itu melepaskan genggamannya. “maukah kamu menikah denganku
muti? Aku sangat mencintaimu muti, maafkan aku atas semua, berilah aku
kesempatan agar aku tidak menyesal untuk kedua kalinya. Kali ini bibirku mulai
bergerak lirih “ aku sudah bertunangan yas, maafkan aku”.
“Aku
tahu muti, aku tahu kamu mencintaiku” ucap diaz sendu.
“tidak
yas, aku sudah bertunangan, lupakan aku, masih banyak wanita diluar sana yang
bisa kaucintai” jawabku.
“muti,
aku tahu matamu, kamu mencintaiku, jujur muti”.
“sudahlah
yas, lupakan aku”
Aku
menarik tanganku, ketika belum semua jemariku lepas dari genggaman diaz, azzam datang ketempat ini dengan rekannya,
dia melihatku dan langsung menghampiriku, aku takut, aku benar-benar taku azzam
marah dan memutuskan ikatan kami, walaupun sejak pertemuan dengan diaz beberapa
hari yang lalu cintaku terbagi sedikit kepada diaz, tapi itu tidaklah banyak,
hanya sedikit, sedikit sekali, hatiku tetaplah milik azzam. “kamu siapa?” Tanya
azzam dengan nada berat kepada diaz. “aku teman lama mutia” jawab diaz. “kalau
hanya teman, kenapa kamu pegang-pegang tangan mutia?, aku melihat kalian sejak
tadi, hingga hatiku terbakar” ucap azzam. Jantungku semakin tidak karuan, aku
dapat merasakan getaran badanku, aku merasakan napasku yang berat, aku
menundukkan kepala dalam-dalam, tidak berani menatap azzam. “dan kamu muti, kenapa kamu berbohong padaku?
Bukankah tadi kamu bilang mau ketoko buku, dan tidak mau aku temani, kamu
bilang tidak mau merepotkanku, tapi nyatanya apa muti? Kamu malah berdua-duaan,
makan siang, pegangan tangan dengan laki-laki ini, kamu takut aku ganggu muti?
Tega sekali kamu padaku!” azzam berkata lirih. Aku tau, wajah azzam begitu
kentara memancarkan sinar kekecewaan dan kemarahan.
“maafkan
aku zam, memang tadi aku membeli buku, dan tidak sengaja bertemu dengan temanku
ini, maafkan aku zam, aku tidak membohongimu, dan aku juga tidak tahu kalau
semua jadi seperti ini” ucapku lirih.
“akulah
yang salah zam, aku mencintai muti sejak kami masih SMP, dan baru tadi aku
mengungkapkannya, jangan sia-siakan muti zam, dia perempuan yang baik, yang
dapat menjaga hatinya, tadi dia sudah berusaha melepaskan tangannya dari
genggamanku, tapi akulah yang tidak melepaskannya, aku meyakinkannya dan
sedikit memaksanya untuk mau menikah dengaku, tapi ia tidak mau, dia bilang dia
sudah bertunangan, dia menyuruhku melupakannya, kalau mau marah, marahlah
padaku zam, jang marah pada mutia, dia tidak bersalah” ucap diaz.
“ya
sudahlah!, jangan kamu ganggu muti lagi, dan jangan kamu temui muti lagi” jawab
azzam.
“iya,
tapi izinkan aku tetap berteman dengan muti, hanya teman, aku tidak akan
merebutnya darimu” ucap diaz.
“ya”.
Jawab azzam cuek seperti tidak ikhlas, azzam lalu manarik tanganku, kami pun
meninggalkan tempat itu dengan segala perasaan gundah gulana, kesal dan marah.
“maafkan
aku zam” ucapku
“aku
sudah memaafkanmu, lupakan semua” jawab azzam.
Tiga hari setelah kejadian ditempat makan itu,
azzam menikah denganku, diaz menghadiri resepsi pernikahan kami. Diaz
benar-benar menyesal untuk kedua kalinya, itu semua karena keegoisannya
sendiri, semua terlambat, tetapi ia senang karena aku senang, sekarang agaknya
diaz sudah jadi lelaki dewasa yang berjiwa besar.
SELESAI
lanjutkan :D
BalasHapuskeren gak kak ceritanya??? :)
BalasHapuskereeen
BalasHapusthanks brother ^_^
BalasHapus