Siang
ini sang mega berpijar membara menjilat-jilat bumi, seolah neraka mengalami
kebocoran. Hembusan angin yang biasanya menyejukkan kini malah terasa
menyengat, angin datang bersama hawa panas dan debu kemarau yang tak terendus
hujan. Setiap jiwa yang tidak berada dalam ruangan dengan pendingin merasakan
hal yang sama. Peluh mengucur sambut menyambut. Di sudut sebuah kelas seorang
mahasiswi bernama mutiah tengah disibukkan dengan tugas dari dosennya, mematut
diri di depan buku, melirik sebentar lalu menulis. Terlihat peluh menghiasi
wajah cantiknya, perlahan tapi pasti peluh menitik dikertas tempat ia menulis lalu
membentuk lingkaran letih.
“Ada
perubahan nih mut, apa kamu gak kepanasan mut? Dibungkus gitu kaya lontong aja
hahaha, aku aja yang cuma liat penampilan kamu mendadak jadi gerah”
“Enggak
kok, pakai kaya gini kan wajib untuk setiap wanita muslimah terlebih yang sudah
baligh” ucap mutiah seraya memegang kerudung panjangnya serta gamisnya yang
longgar.
“Alah,
gak usah tausyiah kamu, kamu ngerti apa soal agama, ayah aku ustadz, gak perlu
kamu ngajarin aku, lihat tuh penampilan kamu kaya nenek-nenek tahun 70-an”
“Astaghfirullahhaladzim” ucap mutiah
sampil mengelus dada, takut terpancing emosinya apalagi suasana yang panas
sangat mendukung belum lagi syaitan yang tidak pernah menyerah untuk terus
menggoda manusia.
“Aku
malu berteman sama kamu, kenapa kamu berubah jadi seperti ini, seperti teroris
saja pakaian kamu”
“Riani,
kamu….”
“Kamu
apa hah?” ucap riani sinis.
“Aku
berubah karena ini benar, ini wajib”
“Ah,
sudahlah, dengar baik-baik ya! Aku tidak akan mau berteman denganmu lagi selama
pakaianmu masih norak seperti ini”
“Tapi,
riani....”ucap mutiah lirih sembari meraih lengan riani.
“Sudahlah”
balas riani ketus sambil mengibaskan lengannya dan pergi meninggalkan mutiah
seorang diri disudut ruangan yang menjadi saksi percakapan mereka.
“Salahkah
berubah menjadi seperti yang Engkau pinta ya Khalik?” Tanya mutiah dalam
tengadah tangannya. Wajahnya yang berpeluh terlihat muram. Mutiah tidak
menyesali perubahannya, hanya saja ia menyesali mengapa temannya begitu menutup
hati akan perintah Allah, malah tidak mau berteman dengannya lagi.
Berbagai
ejekan yang terlontar dari bibir teman-temannya tak membuat mutiah menanggalkan
hijabnya. Bahkan tidak jarang mutiah dikatai teroris, sok alim dan sok suci. Tak sedikit
teman yang meninggalkannya karena hijabnya. Tetapi mutiah menyadari jika
seluruh temannya meninggalkannya atau bahkan seluruh dunia meninggalkannya masih
ada Allah yang selalu ada untuk mutiah disetiap desah napasnya.
“Beli
kerudung sepanjang itu dimana mut?” ucap maya sambil tertawa mengejek.
“Beli
sama kakak tingkat may, kenapa? Mau beli juga? Biar nanti aku bilangin ke
kakaknya” ucap mutiah menjawab pertanyaan maya.
“Enggak
ah, nanya aja, aku belum siap pakai kerudung sepanjang itu, belum dapat
hidayah”. jawab maya yang memang masih suka memakai kerudung dengan beragam
tren berhijab zaman sekarang. Padahal kerudung itu berfungsi sebagai penutup aurat
bukan pengganti aurat. Tetapi maya memposisikan kerudung sebagai pengganti
aurat, dimana apa yang dilakukan maya masih membuat ketar-ketir hati laki-laki
yang melihatnya. Kerudung maya tidak menutup dada, dan lagi rambut serta
telinga maya masih membayang karena tipisnya kerudung yang ia kenakan.
Sebenarnya masih banyak maya maya lain diluar sana yang belum mengerti berhijab
secara syar’i. kebanyakan wanita mengatakan belum mendapat hidayah padahal
hidayah itu kan petunjuk dan Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia
yaitu Al-Qur’an, hanya saja manusia yang tidak mau menjemput hidayah tersebut.
***
Pagi
ini sang mega terlihat malu-malu menyembul di langit, hujan baru saja reda,
titik-titik air masih berjatuhan sedikit-sedikit. Hujan menyisakan hawa dingin.
Mutiah berjalan ke kampus mengenakan jaketnya. Setibanya dikampus keadaan masih
lengang, mutiah menjadi orang pertama
yang datang. Hujan memang sering melenakan.
“Assalamu’alaikum mutiah” sapa seseorang
dari arah belakang.
“Wa’alaikumussalam Faqih” ucap mutiah
seraya membalikkan badan.
“Sendiri
saja, udah lama disini?”
“Iya
belum ada teman yang datang” ucap mutiah sambil menunduk menjaga pandangannya.
“Cepat
sih kamu datangnya” balas faqih.
“Sama
seperti biasa kok, hmmm… aku kekelas dulu ya” jawab mutiah sembari melangkah
meninggalkan faqih.
“Tunggu
sebentar mut” ucap faqih seraya berjalan kearah mutiah
“Ada
apa?” balas mutiah sembari menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang.
“Ajari
aku Kalkulus bisa?”
Belum
lagi mutiah sempat menjawab pertanyaan faqih, riani menghampiri mereka lalu
mengatai mutiah.
“Ngapai
berduaan disini ustadzah? Gak sadar sama pakaian ya, malu-maluin aja” ucap
riani sambil berlalu meninggalkan mutiah.
“Maafkan
aku ya mut, nanti biar aku jelaskan sama riani” ucap faqih.
Mutiah
tidak mau terpancing oleh riani, mutiah paham betul mengapa riani seperti itu,
dulu mutiah juga pernah berpikiran bahwa memakai kerudung panjang, gamis
longgar, dan kaos kaki terlihat aneh, dan seperti teroris, hanya saja sekarang
mutiah sudah hijrah. Sedangkan riani belum, tugas mutiah bukanlah menanggapi
kemarahan riani dengan kemarahan juga, tetapi membuat riani mengikuti jejaknya
untuk hijrah.
***
Memang
benar setiap tindakan yang benar, selalu menuai pro kontra. Bahkan terkadang orangtua
menyalahkan tindakan benar anaknya.
Mutiah mengalami hal tersebut. Tatkala libur kuliah mutiah pulang ke kampung
halamannya. Berbagai gunjingan dan cercaan dari ibu-ibu dikampungnya ia terima.
Bahkan suatu ketika tatkala ia iseng bertanya pada neneknya perihal pakaiannya
sekarang neneknya mengatakan bahwa pakaiannya jelek dan neneknya menyuruhnya
untuk biasa-biasa saja jangan terlalu berlebihan. Belum lagi ayahnya yang juga
meledeknya.
“Belum
juga lama kuliah, udah jadi ustadzah ya” ledek seorang tetangganya
“ibu
bisa saja” ucap mutiah sembari tersenyum mencoba untuk sabar.
“Lihat
kamu ibu jadi kepanasan” sambung ibu yang lain
Mutiah
hanya tersenyum saja menanggapinya, berharap semoga ibu-ibu yang meledeknya
bisa hijrah menuju kebenaran bersamanya. Untung saja bunda mutiah mendukung
perubahan mutiah. Hanya saja nenek dan ayahnya yang masih kurang respek. Tetapi
mutiah tetap berbaik sangka kepada Allah, mutiah percaya bahwa Allah tidak akan
memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya, dan mutiah memahami bahwa
selama ini telah banyak dosa yang ia lakukan dengan tidak menutup aurat dan ia
menganggap apa yang ia terima saat ini sebagai penawar dosanya.
***
Mutiah
menyempatkan diri berkunjung ke SMAnya dulu, selain rindu dengan guru dan
suasana sekolah ia juga rindu lingkungan sekolahnya. Tetapi yang ia dapati di
SMAnya adalah tatapan heran seperti tidak suka dari guru dan adik kelasnya, ada
beberapa guru yang senang atas perubahannya tetapi ada juga yang berbisik
seolah perubahan mutiah itu buruk.
“ilfeel lah ibu liat mutiah sekarang,
pake baju teropong gitu, ibu senang liat anak ibu berhijab tapi mutiah terlalu
kali sampai pakaiannya double-double
gitu” ucap salah seorang guru mutiah, guru yang paling dekat dengan mutiah,
guru yang dulunya sudah seperti sahabat mutiah.
“hmmm….
Jangan ilfeel lah bu, mutiah gak mau
ibu ilfeel sama mutiah” ucap mutiah
menimpali.
“yakin
mutiah bisa istiqomah? Nanti cuma sebentar pake baju teopongnya” balas guru
mutiah meledek.
Dalam
hati mutiah menangis, tetapi sebenarnya matanya juga terlihat berkaca-kaca,
hingga mutiah meminta diri untuk ketoilet sebagai alasan agar tangisnya tidak
terlihat guru-gurunya. Di bawah pohon rindang tepat didepan kelasnya dahulu,
mutiah menumpahkan segala kesedihannya dalam tangis. Sesekali ia menyeka air
matanya lalu tangisnya pecah kembali. Syaitan terus memanfaatkan situasi ini
untuk terus menggoda mutiah agar menanggalkan hijabnya tetapi mutiah mencoba
teguh dalam menjalani perintah-Nya. Mutiah sudahss memahami bahwa berhijab
bukan sebuah pilihan tetapi kewajiban. Semilir angin datang dan pergi sambut
menyambut menerpa wajah mutiah meninggalkan rasa sejuk dihati mutiah yang
semula gersang.
***
Waktu
terus bergulir, ejekan dari orang-orang terdekat mutiah hadir sambut menyambut,
tetapi ternyata keadaan itu semakin membuat mutiah teguh keimanannya. Semua ia
jadikan obat hati dan muhasabah diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik
lagi. Mutiah terlihat anggun dalam balutan hijabnya, ia terus bertempur melawan
godaan lingkungannya. Hingga akhirnya keadaan menjadi biasa, telinga dan
hatinya telah kebal akan ucapan-ucapan mereka yang tak sepaham. Nenek dan ayah
mutiah pada akhirnya mendukung mutiah dengan hijabnya. Subhanallah, janji allah
itu pasti. Setelah kesulitan ada kemudahan.