apakah anda senang berkunjung ke blog saya?

Minggu, 19 Oktober 2014

Bersama KD disemester awal

Tap Tap Tap
derap kaki memecah kebisuan
ta aa p ta aa p ta aa p
lalu perlahan tenggelam
dalam ledek guruh yang menggelegar
dalam irama hujan yang hadir dari langit hitam bening bundar
ikkksssss ikkksssss
iramanya kian memilukan
kututup telingaku dengan kedua tangan
biar kudengar derap langkah yang tenggelam
biar kupahami setiap jejek yang tertinggal
kudengar irama syair
mengalun dalam kebisuan mahaberat
"limit x mendekati senin dari fungsi yang masih diawang-awang, kudengar teriak bocah mendengung ditelingaku, memantul dari sudut kesudut, menggema dalam lorong-lorong jiwa, menggaung serupa gaungan serigala memecah kebisuan rimba kelam, mengaliri darah, ia duduk bersandar, menggelosor dibadan lantai, memeluk beberapa buku tebal yang tak ia pahami, matanya sayu, redup, dalam kering gersang ronanya terlihat setitik cahaya yang hampir padam, kulihat jemarinya mengepal, tinjunya terayun pada buku yang ia peluk : baam,baam,bammm suaranya menghentak, menggelitik, sekali lagi ia katakan dengan keras dalam bisiknya "ayolah fatma nauli kamu tidak sendiri"

Sabtu, 18 Oktober 2014

GADIS DENGAN BAJU TEROPONGNYA



         Siang ini sang mega berpijar membara menjilat-jilat bumi, seolah neraka mengalami kebocoran. Hembusan angin yang biasanya menyejukkan kini malah terasa menyengat, angin datang bersama hawa panas dan debu kemarau yang tak terendus hujan. Setiap jiwa yang tidak berada dalam ruangan dengan pendingin merasakan hal yang sama. Peluh mengucur sambut menyambut. Di sudut sebuah kelas seorang mahasiswi bernama mutiah tengah disibukkan dengan tugas dari dosennya, mematut diri di depan buku, melirik sebentar lalu menulis. Terlihat peluh menghiasi wajah cantiknya, perlahan tapi pasti peluh  menitik dikertas tempat ia menulis lalu membentuk lingkaran letih.
            “Ada perubahan nih mut, apa kamu gak kepanasan mut? Dibungkus gitu kaya lontong aja hahaha, aku aja yang cuma liat penampilan kamu mendadak jadi gerah”
            “Enggak kok, pakai kaya gini kan wajib untuk setiap wanita muslimah terlebih yang sudah baligh” ucap mutiah seraya memegang kerudung panjangnya serta gamisnya yang longgar.
            “Alah, gak usah tausyiah kamu, kamu ngerti apa soal agama, ayah aku ustadz, gak perlu kamu ngajarin aku, lihat tuh penampilan kamu kaya nenek-nenek tahun 70-an”
            Astaghfirullahhaladzim” ucap mutiah sampil mengelus dada, takut terpancing emosinya apalagi suasana yang panas sangat mendukung belum lagi syaitan yang tidak pernah menyerah untuk terus menggoda manusia.
            “Aku malu berteman sama kamu, kenapa kamu berubah jadi seperti ini, seperti teroris saja pakaian kamu”
            “Riani, kamu….”
            “Kamu apa hah?” ucap riani sinis.
            “Aku berubah karena ini benar, ini wajib”
            “Ah, sudahlah, dengar baik-baik ya! Aku tidak akan mau berteman denganmu lagi selama pakaianmu masih norak seperti ini”
            “Tapi, riani....”ucap mutiah lirih sembari meraih lengan riani.
            “Sudahlah” balas riani ketus sambil mengibaskan lengannya dan pergi meninggalkan mutiah seorang diri disudut ruangan yang menjadi saksi percakapan mereka.
            “Salahkah berubah menjadi seperti yang Engkau pinta ya Khalik?” Tanya mutiah dalam tengadah tangannya. Wajahnya yang berpeluh terlihat muram. Mutiah tidak menyesali perubahannya, hanya saja ia menyesali mengapa temannya begitu menutup hati akan perintah Allah, malah tidak mau berteman dengannya lagi.
            Berbagai ejekan yang terlontar dari bibir teman-temannya tak membuat mutiah menanggalkan hijabnya. Bahkan tidak jarang mutiah dikatai  teroris, sok alim dan sok suci. Tak sedikit teman yang meninggalkannya karena hijabnya. Tetapi mutiah menyadari jika seluruh temannya meninggalkannya atau bahkan seluruh dunia meninggalkannya masih ada Allah yang selalu ada untuk mutiah disetiap desah napasnya.
            “Beli kerudung sepanjang itu dimana mut?” ucap maya sambil tertawa mengejek.
            “Beli sama kakak tingkat may, kenapa? Mau beli juga? Biar nanti aku bilangin ke kakaknya” ucap mutiah menjawab pertanyaan maya.
            “Enggak ah, nanya aja, aku belum siap pakai kerudung sepanjang itu, belum dapat hidayah”. jawab maya yang memang masih suka memakai kerudung dengan beragam tren berhijab zaman sekarang. Padahal kerudung itu berfungsi sebagai penutup aurat bukan pengganti aurat. Tetapi maya memposisikan kerudung sebagai pengganti aurat, dimana apa yang dilakukan maya masih membuat ketar-ketir hati laki-laki yang melihatnya. Kerudung maya tidak menutup dada, dan lagi rambut serta telinga maya masih membayang karena tipisnya kerudung yang ia kenakan. Sebenarnya masih banyak maya maya lain diluar sana yang belum mengerti berhijab secara syar’i. kebanyakan wanita mengatakan belum mendapat hidayah padahal hidayah itu kan petunjuk dan Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia yaitu Al-Qur’an, hanya saja manusia yang tidak mau menjemput hidayah tersebut.
***
            Pagi ini sang mega terlihat malu-malu menyembul di langit, hujan baru saja reda, titik-titik air masih berjatuhan sedikit-sedikit. Hujan menyisakan hawa dingin. Mutiah berjalan ke kampus mengenakan jaketnya. Setibanya dikampus keadaan masih lengang, mutiah menjadi orang  pertama yang datang. Hujan memang sering melenakan.
            Assalamu’alaikum mutiah” sapa seseorang dari arah belakang.
            Wa’alaikumussalam Faqih” ucap mutiah seraya membalikkan badan.
            “Sendiri saja, udah lama disini?”
            “Iya belum ada teman yang datang” ucap mutiah sambil menunduk menjaga pandangannya.
            “Cepat sih kamu datangnya” balas faqih.
            “Sama seperti biasa kok, hmmm… aku kekelas dulu ya” jawab mutiah sembari melangkah meninggalkan faqih.
            “Tunggu sebentar mut” ucap faqih seraya berjalan kearah mutiah
            “Ada apa?” balas mutiah sembari menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang.
            “Ajari aku Kalkulus bisa?”
            Belum lagi mutiah sempat menjawab pertanyaan faqih, riani menghampiri mereka lalu mengatai mutiah.
            “Ngapai berduaan disini ustadzah? Gak sadar sama pakaian ya, malu-maluin aja” ucap riani sambil berlalu meninggalkan mutiah.
            “Maafkan aku ya mut, nanti biar aku jelaskan sama riani” ucap faqih.
            Mutiah tidak mau terpancing oleh riani, mutiah paham betul mengapa riani seperti itu, dulu mutiah juga pernah berpikiran bahwa memakai kerudung panjang, gamis longgar, dan kaos kaki terlihat aneh, dan seperti teroris, hanya saja sekarang mutiah sudah hijrah. Sedangkan riani belum, tugas mutiah bukanlah menanggapi kemarahan riani dengan kemarahan juga, tetapi membuat riani mengikuti jejaknya untuk hijrah.
***
            Memang benar setiap tindakan yang benar, selalu menuai pro kontra. Bahkan terkadang orangtua menyalahkan tindakan benar  anaknya. Mutiah mengalami hal tersebut. Tatkala libur kuliah mutiah pulang ke kampung halamannya. Berbagai gunjingan dan cercaan dari ibu-ibu dikampungnya ia terima. Bahkan suatu ketika tatkala ia iseng bertanya pada neneknya perihal pakaiannya sekarang neneknya mengatakan bahwa pakaiannya jelek dan neneknya menyuruhnya untuk biasa-biasa saja jangan terlalu berlebihan. Belum lagi ayahnya yang juga meledeknya.
            “Belum juga lama kuliah, udah jadi ustadzah ya” ledek seorang tetangganya
            “ibu bisa saja” ucap mutiah sembari tersenyum mencoba untuk sabar.
            “Lihat kamu ibu jadi kepanasan” sambung ibu yang lain
            Mutiah hanya tersenyum saja menanggapinya, berharap semoga ibu-ibu yang meledeknya bisa hijrah menuju kebenaran bersamanya. Untung saja bunda mutiah mendukung perubahan mutiah. Hanya saja nenek dan ayahnya yang masih kurang respek. Tetapi mutiah tetap berbaik sangka kepada Allah, mutiah percaya bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya, dan mutiah memahami bahwa selama ini telah banyak dosa yang ia lakukan dengan tidak menutup aurat dan ia menganggap apa yang ia terima saat ini sebagai penawar dosanya.
***
            Mutiah menyempatkan diri berkunjung ke SMAnya dulu, selain rindu dengan guru dan suasana sekolah ia juga rindu lingkungan sekolahnya. Tetapi yang ia dapati di SMAnya adalah tatapan heran seperti tidak suka dari guru dan adik kelasnya, ada beberapa guru yang senang atas perubahannya tetapi ada juga yang berbisik seolah perubahan mutiah itu buruk.
            ilfeel lah ibu liat mutiah sekarang, pake baju teropong gitu, ibu senang liat anak ibu berhijab tapi mutiah terlalu kali sampai pakaiannya double-double gitu” ucap salah seorang guru mutiah, guru yang paling dekat dengan mutiah, guru yang dulunya sudah seperti sahabat mutiah.
            “hmmm…. Jangan ilfeel lah bu, mutiah gak mau ibu ilfeel sama mutiah” ucap mutiah menimpali.
            “yakin mutiah bisa istiqomah? Nanti cuma sebentar pake baju teopongnya” balas guru mutiah meledek.
            Dalam hati mutiah menangis, tetapi sebenarnya matanya juga terlihat berkaca-kaca, hingga mutiah meminta diri untuk ketoilet sebagai alasan agar tangisnya tidak terlihat guru-gurunya. Di bawah pohon rindang tepat didepan kelasnya dahulu, mutiah menumpahkan segala kesedihannya dalam tangis. Sesekali ia menyeka air matanya lalu tangisnya pecah kembali. Syaitan terus memanfaatkan situasi ini untuk terus menggoda mutiah agar menanggalkan hijabnya tetapi mutiah mencoba teguh dalam menjalani perintah-Nya. Mutiah sudahss memahami bahwa berhijab bukan sebuah pilihan tetapi kewajiban. Semilir angin datang dan pergi sambut menyambut menerpa wajah mutiah meninggalkan rasa sejuk dihati mutiah yang semula gersang.
***
            Waktu terus bergulir, ejekan dari orang-orang terdekat mutiah hadir sambut menyambut, tetapi ternyata keadaan itu semakin membuat mutiah teguh keimanannya. Semua ia jadikan obat hati dan muhasabah diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mutiah terlihat anggun dalam balutan hijabnya, ia terus bertempur melawan godaan lingkungannya. Hingga akhirnya keadaan menjadi biasa, telinga dan hatinya telah kebal akan ucapan-ucapan mereka yang tak sepaham. Nenek dan ayah mutiah pada akhirnya mendukung mutiah dengan hijabnya. Subhanallah, janji allah itu pasti. Setelah kesulitan ada kemudahan.

RUMAH BARU AYAH



 Pekanbaru layaknya bidadari surga pagi ini. Pagi yang memang masih belia dimana berkas sinar rembulan masih menghiasi hitam pekatnya aroma malam. Hembusan angin  disertai titik-titik embun yang menghempas wajah membawa aroma melati dari surga menyisakan rasa sejuk di lorong-lorong jiwa dan meninggalkan titik-titik kecil air dibulu mataku. Aku bangun lebih awal dari bumi dan bekerja lebih cepat dari matahari, dimana bumi masih terlelap dalam pelukan Bima Sakti, dan mentari masih berkelana ke Andromeda dalam mimpi indahnya.  Segerombolan kunang-kunang berkerlap-kerlip menambah keindahan pagi di usia belianya ini. Selepas shalat tahajjud tadi, aku memang berencana untuk lari pagi mengitari kompleks perumahan, tepat pukul 04:05 aku melangkahkan kaki keluar rumah, dan ayah  meminta  untuk menemaniku lari pagi. Keadaan yang sangat jarang terjadi karena biasanya ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai anggota dewan, belum lagi ayah memiliki beberapa pabrik kelapa sawit yang tersebar di wilayah Riau yang harus ia kelola. Tetapi bunda bilang ayah bekerja keras agar aku dan bunda dapat hidup bahagia, apalagi ini zaman dimana para pengangguran tumbuh subur seperti jamur dimusim hujan, dan lagi mencari pekerjaan bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, karena itu seharusnya aku bersyukur memiliki ayah yang bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga.
            Dalam keremangan sinar lampu dapat kulihat wajah ayah yang tersenyum kaku ketika kutanya tentang kesibukannya diluar sana, ayah cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, menanyakan apakah aku sudah pandai memasak, menanyakan tentang bakatku menarikan tarian daerah, aku yang masih polos dan lugu lantas melupakan pertanyaan-pertanyaanku, lalu dengan semangat menceritakan tentang aku yang sudah menjuarai perlombaan tari daerah seprovinsi Riau, juga menceritakan bahwa aku sudah bisa menggulai ayam.
Setelah cukup lama berlari, panggilan azan shubuh terdengar mengetuk-ngetuk kalbu, membangunkan bumi dari lelapnya, menyadarkan mentari dari mimpi indahnya, Kami mempercepat lari kami menuju rumah-Nya.. Begitu menggetarkan hati ketika nama-Nya dilantunkan, bulu roma  berlomba untuk bangun seolah ingin ikut bersujud kepada-Nya. Dalam tengadah tanganku kuucapkan hamdalah berulang kali atas nikmat-Nya pagi ini yang memberiku waktu bersama ayah. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.
***
            Sambil menunggu guru masuk aku mengambil iPadku, lalu kuputar lagu-lagu kebangsaan. Koleksi lagu-laguku memang didominasi lagu-lagu wajib nasional dan lagu-lagu daerah. Aku juga sudah aktif dalam panggung teater daerah sejak SMP. Sebenarnya aku  blasteran jawa batak, dan perpaduan dua darah berbeda yang ada dalam tubuhku membuatku mencintai keberagaman. Lagi pula aku tinggal di Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan, adat istiadat, suku, bahasa, bahkan agama. Maka mencintai Indonesia juga berarti  menghargai dan mencintai keberagamannya.   
Pelajaran pertama hari ini adalah Pendidikan kewarganegaraan, yang merupakan pelajaran kesukaanku, walaupun setiap teori didalamnya tak jarang bertolak belakang dengan keadaan dilapangan. DPR yang membuat undang-undang untuk dilanggar, aparat hukum yang mau-maunya disuapi sedikit rupiah, para tikus-tikus kantor yang seenak udelnya menggerogoti uang rakyat, tanpa pernah peduli kalau itu bukan haknya. Kalau dulu Indonesia dijajah oleh belanda dan jepang dengan terang-terangan dan kekerasan yang amat menyiksa, tentu dapat dilihat secara nyata bahwa mereka harus dimusnahkan. Tetapi sekarang musuh-musuh atau penjajah Indonesia itu sendiri ada didalam ketiak negeri, mereka sudah paham akan kelemahan-kelemahan negeri ini, menjadi dedengkot kaum pengkhianat, yang begitu murahan merampas milik rakyat, tertawa diatas tangis rakyat, bahkan tak sedikit yang membangun relasi dengan pihak luar demi meraup keuntungan pribadi dan sadisnya rakyat tidak tahu secara nyata akan kejahatan pemimpinnya, begitu kaum intelektual negeri ini, mendapat ilmu tapi untuk menipu. Sebagai seorang anak yang pikirannya masih labil dulu aku berniat untuk tidak sekolah, karena dalam kacamata labilku sekolah hanya akan menjadikanku seorang pengkhianat negeri. Tetapi bunda berkata, jika ingin mengubah bangsa Indonesia maka aku harus sekolah, lebih mendalami apa yang tidak aku pahami tentang negeri ini.
***
            Minggu yang kelam, mentari seolah ditelan awan hitam, aku kebingungan dan mencoba mencarinya pada liang langit tempat ia biasa menyembul anggun dan memburaikan kemilau cahayanya. Aku termenung dalam pencarianku, dan tersadar tatkala angin dan embun menampar wajahku, menyisakan lebam-lebam ilusi dipipiku,  padahal biasanya embun sudah diuapkan mentari, namun itulah akibatnya jika mentari tidak terbit, embun menjadi angkuh, seenaknya menampar wajahku.
            Segelas cappuccino hangat menemaniku duduk diberanda rumah. Kusruput cappuccinoku dengan lembut,  menikmati setiap rasa dan kehangatan yang disuguhkan. Tanpa melepaskan bibirku dari bibir gelas, tanganku merayapi meja mencari koran harian yang biasa diantar kerumah. Belum lagi mataku sempat menangkap bacaan-bacaan dikoran, bunda dari arah belakang sudah merebut koran itu dari genggaman jemari lentikku. Dahiku mengerut penuh tanya, namun mata bunda malah mengisyaratkan kegundahan yang tak bertepi seolah-olah menghardikku dan memaksaku untuk tidak bertanya lagi.
            Aku beralih menonton TV. “KPK menemukan adanya tindak pidana ko….”.  Belum lagi usai aku mendengar ucapan pembawa berita, bunda sudah merebut remote dari tanganku dan langsung menekan tombol power. Aku semakin curiga dengan sikap bunda, apalagi kulihat mata bunda merah seperti habis menangis, sikap bunda telah memunculkan ribuan pertanyaan dibenakku, pertanyaan yang tidak terjawab, karena bunda lantas meninggalkanku seorang diri. “Mungkinkah? Mung….” Tanyaku terputus karena ketukan keras dari luar rumah, belum lagi teriakan mbok darmi yang sedikit menganggu telingaku, “bu…bu…ada polisi nyari bapak”. Deg, instingku mulai menari-nari, namun kutepis lagi. Samar-samar tendengar ucapan polisi diluar yang mengatakan pada ibu bahwa ayah menjadi tersangka atas kasus korupsi dan kasus pembakaran hutan yang diduga ayah adalah akarnya. Aku limbung, masih terpaku ditembok tempatku bersandar, sungai kembar diwajahku tak kuat menahan gelombang yang menerjang, pipiku sampai terasa pekat karena air mata yang tak kunjung mau berhenti, aku terduduk dalam sandarku.
***
            Petang menjemput malam dengan kelelahan yang jelas tergambar, mentari membangunkan bulan dari lelapnya, berabad-abad lamanya dan berjuta-juta kali telah dilakukannya, namun mentari sebagai pusat jagad raya tidak pernah lupa akan tugasnya, selalu mengingatkan anggotanya akan kewajiban sebagai ciptaan-Nya, mentari begitu istiqomah mengemban amanah dari-Nya. Keadaan ini berbanding terbalik dengan ayah yang posisinya juga sebagai pusat di jagad raya maya keluarga kami. Setelah sebulan di luar kota, ayah akhirnya pulang, ayah memang tidak menyinggung  tentang masalahnya, aku pun berpura-pura tidak tahu akan semua yang terjadi. Terlihat jelas mata ayah yang menggambarkan ketakutan, ayah terlihat kurus, perut buncitnya mulai mengempis, aku duduk diantara ayah dan bunda, ayah membelai lembut rambutku sembari mengecup keningku, dan kurasakan getaran sendunya menjalari setiap inci tubuhku, kebisuan kami terpecah oleh alunan syahdu azan maghrib. Untuk kali pertama setelah berbulan-bulan tenggelam dalam kesibukannya, ayah menjadi pemimpin shalat aku dan bunda, tidak dapat kutahan gejolak air ditelaga beningku yang terus mendesak menjebol benteng-benteng yang memang tak lagi kuat. Mukenah dan sajadahku basah, pandanganku buram. Dalam tengadah tanganku aku bertanya pada-Nya,  apa yang harus kuperbuat? Kepada siapakah aku harus berbakti dan membagi kasihku? Betapa dilema melanda setiap ruang dalam jiwaku, betapa keadaan telah meremukkan sendi-sendiku. Setengah jam aku terduduk dalam tengadah tanganku, sampai angin datang membawa pesan dari-Nya sebagai jawaban atas tanyaku.
            Malam ini juga kuputuskan untuk pergi menunaikan tugasku sebagai seorang anak yang berbakti kepada orangtua dan berbakti kepada negara. Aku pergi dari rumah seorang diri. Dalam keremangan sinar lampu aku menangis, berharap semoga tiada yang melihatku, walaupun aku tahu pandangan-Nya tak pernah lepas dariku.
            Di hadapan polisi kuceritakan perihal ayah yang sudah kembali kerumah dengan lengkap tanpa tabir. Kuceritakan  tentang kesibukan-kesibukan ayah selama ini, tentang pabrik-pabrik kelapa  sawit yang dikelola ayah, tentang kepergian ayah keluar kota dan keluar negeri. Tangisku tiada berujung, walaupun bibirku juga terus bercerita, terkadang tangis membuat ucapku tersendat, tapi demi keadilan untuk negeri ini harus aku lakukan walaupun perasaanku teriris-iris karenanya, walaupun naluriku sebagai seorang anak tak dapat berhenti membodoh-bodohkan diri sendiri yang tega melaporkan kejahatan ayahnya sendiri, namun disisi lain sebagai seorang warga negara yang tahu hakikat bernegara, naluriku membenarkan tindakanku saat ini, bukankah ayah telah merebut hak-hak  para rakyat kecil yang terkadang tidak mendapatkan remahan sekedar penyejuk perut anak-anaknya?  Bukankah ayah  telah merampas tempat tinggal hewan-hewan dihutan? Bukankah ayah telah mencemari udara sehingga mendapati udara bersih dibumi lancang kuning ini seperti mendapati berlian mahal? Bukankah telah banyak nyawa  melayang karena kerakusan ayah? dan beribu pertanyaan tak memiliki jawaban tersusun rapi dalam benakku, tapi inilah pesan-Nya sebagai jawaban atas tanyaku yang harus aku laksanakan dan terima suka dukanya.
***
            Malam seperti ikut merasakan kepedihanku, langit gelap kelam kelabu disertai awan hitam yang berarak tak kuat menahan air yang berkondensasi lalu menjatuhkan titik-titik hujan kebumi, cahaya lampu diberanda rumahku membias dalam gelombang air yang membentuk kubangan-kubangan mungil dihalaman rumahku, kulepas ayah dengan tangis, bunda mematung tetapi masih kentara air matanya yang terus menitik seirama dengan kian derasnya hujan. Kupeluk ayah dengan erat dan tangis yang tak kunjung reda, begitu juga ayah yang terisak, tak pernah kulihat ayah sesedih ini. “maafkan anakmu yah” ucapku lirih, suaraku tenggelam dalam irama hujan yang semakin menghentak. Kulihat ayah digelandang oleh pria berseragam, angin menemani ayah dan segala kepedihannya pergi kerumah barunya tanpa aku dan bunda. “Kalau dulu pahlawan negeri ini rela mengorbankan nyawanya untuk merebut kemerdekaan, masa iya aku tidak mau mengorbankan perasaanku untuk mempertahankan kemerdekaan?” Tanyaku lewat bisikan pada hati kecilku yang diam seperti batu. “bismillah tawakkaltu ‘ala Allah” dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah, ucapku lirih selirih bisikan angin pada ranting-ranting pepohonan malam ini. Kudekap jiwaku dalam linangan air mata yang tak kunjung usai. Dalam senyap berbalut luka kudengar bumi indonesia berucap lirih “terima kasih atas cintamu nak”.
***


SEMAHAL BERLIAN



Siang ini sang mega berpijar membara menjilat-jilat bumi, cahayanya dengan pongah menyembul membias kesegala arah. Hembusan angin  bersama hawa panas dan aroma debu kemarau yang tak terendus hujan menambah panasnya suasana siang ini. Seorang anak dengan wajah tertunduk menitikkan peluhnya yang mengucur sambut menyambut membasahi bumi, keadaan yang selaras dengan rambutnya yang acak-acakan tak terurus serta tubuh kurusnya yang dibalut seragam putih biru yang sudah memudar bahkan penuh tambalan. Sinar wajahnya yang membias ke bumi dipantulkan kembali ke hamparan langit biru membentang dengan ujung fatamorgana yang membentuk lengkungan indah, kiranya bumi ingin menceritakan kepada penguasa langit bahwa diatas tubuhnya ada seorang remaja yang membutuhkan titik-titik hujan sekedar penyejuk jiwanya yang gersang. Nama remaja itu roni. Ia tinggal disebuah kampung tertinggal disudut provinsi riau tepatnya ditepian kabupaten rokan hilir.
Setiap hari roni menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk menempuh pendidikannya. Ayahnya sudah tiada semenjak ia duduk di kelas 3 SD, waktu itu riau diselimuti kabut asap yang menyebabkan ayah roni mengidap ispa, lalu dengan semena-mena sang kabut asap membawa pergi ayah roni dalam pengembaraannya kealam keabadian meninggalkan dunia fana dan membiarkan roni berjalan tanpa ayah dalam perjalanannya mengembara kesetiap sudut  dunia. Roni memiliki 2 orang adik yang masih kecil, keadaan memang begitu kejam merebut ayah roni dari keluarganya sehingga mengharuskan roni membanting tulang membantu ibunya mencari nafkah. Penghasilan ibu roni dari berjualan kue keliling tidaklah cukup untuk membiayai hidup roni sekeluarga sehingga roni membantu ibunya dengan mengandalkan keahliannya menyadap karet. Tetangganya yang memiliki kebun karet memperkerjakan roni dikebun mereka, selain karena alasan kasihan juga dikarenakan roni cukup terampil dalam menyadap karet. Dulu keluarga roni memiliki sepetak kebun karet dan roni sering membantu ayahnya menyadap karet sepulang sekolah, tetapi semenjak ayahnya diserang ispa dan kerena kebutuhan-kebutuhan mendesak kebun yang sepetak tersebut dijual hingga jadilah keluarga roni layaknya anak tiri dunia.
Dengan berbekal sepeda tua nan ringkih setiap hari roni menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk mencapai sekolah, belum lagi keadaan jalan yang sangat minim semakin menambah onak dikehidupan roni. Roni yang seharusnya hidup layak seperti remaja-remaja dikota kini harus bangun lebih awal dari matahari, mengayuh sepeda tua bertemankan dingin pagi yang menusuk dan aroma kegelapan yang mengendus angkuh serta terpaan embun yang menggoreskan titik-titik air dimata cekungnya. Namun apalah daya seorang remaja miskin papa yang hanya menjadi saksi kemegahan dunia tanpa pernah mencicipinya, hanya bisa mengendus wanginya kemajuan teknologi dan modernnya peradaban tanpa pernah bisa menyentuhnya. Sekolah roni pun seperti menara condong pisa, hanya saja dalam konteks yang berbeda. Siswa belajar dengan bangunan ala kadarnya, berlantaikan bumi dan beratapkan genteng yang sudah bolong disana-sini, jika sang mega sedang membara mereka ikut merasakan panasnya menusuk kepala yang lewat melalui celah-celah menganga. Duduk dibangku-bangku tua yang sudah tak kuat menyangga tubuh mereka, menulis dimeja yang lebih pantas disebut sarang kepinding. Sungguh berbeda dengan keadaan diluar garis keterbelakangan ini, mereka para pemimpin negeri hidup bergelimang harta, bermandikan susu,  tinggal di rumah bak istana raja berhiaskan segala kemewahan yang membuat mata mereka buta akan ketertinggalan rakyatnya, harta dan kekuasaan yang membuat telinga mereka tuli akan jeritan-jeritan kepedihan dari kaum papa yang memang sengaja mereka lupakan.
Beban roni tidak sekedar rentetan masalah ekonomi keluarganya dan minimnya gedung serta fasilitas sekolah. Teman-teman roni yang juga berasal dari tepian kabupaten rokan hilir juga menjadi beban perjuangan roni, sehingga roni butuh banyak usaha untuk bisa hijrah dari keadannya sekarang. Terbiasa hidup dikalangan orang berlatar belakang pendidikan tertinggal membuat teman-teman roni terdoktrin keadaan bahwa mereka akan tetap seperti orang tua mereka sekalipun mereka bersekolah berpeluh-peluh mengayuh sepeda menantang sang mega dengan panasnya yang tiada meredup walaupun zaman kian renta. Roni ingin dunia melihat bahwa anak-anak dari kampung tertinggal dapat mendobrak dunia tanpa uluran tangan mereka sang pemilik cakar-cakar baja yang hidup mewah diatas ratap tangis rakyatnya. Roni begitu yakin akan kekuatan hukum-hukum Sir Isaac newton, dimana newton mengatakan bahwa benda akan tetap dalam keadaan diam atau bergerak dengan kecepatan konstan apabila gaya yang bekerja pada benda tersebut sama dengan nol, artinya jika roni hanya berpangku tangan akan keadaannya serta sikap teman-temannya maka selamanya mereka akan vakum dalam ketertinggalannya, mereka akan sama dengan orang tua mereka yang bodoh dan tak mencicipi apalagi mempercayai bahwa pendidikan itu nikmat. Roni juga mengamini ucapan newton dalam hukum ketiganya gaya aksi sama dengan gaya reaksi yang diartikan jika roni melakukan usaha maka usahanya dibayar adil sama dengan besarnya usaha tersebut,  sang penguasa jagad raya tidak pernah tidur dan tidak pernah lalai dalam mengawasi hambanya, janji-Nya pasti, bahkan amalan seberat zarrah pun diperhitungkan-Nya.
Teman-teman roni beranggapan bahwa sekolah hanya membuang-buang waktu dan uang saja, mereka berpikir lebih baik berkerja membantu orangtua mereka. Satu persatu teman-teman roni berhenti sekolah, mereka berguguran layaknya daun-daun diterbangkan angin. Janji-janji yang dulu mereka tuliskan didinding sekolah untuk berjuang menuntut ilmu telah menjadi saksi bisu lemahnya pemikiran mereka. Usaha roni mencegah teman-temannya untuk tidak berhenti sekolah tiada berpengaruh apa-apa. Mereka tetap meninggalkan bangku pendidikan yang mereka anggap tidak penting untuk diperjuangkan. Jadilah roni seorang diri menantang arus kehidupan mayapada dunia. Dulu mereka bersama-sama mengisi halaman-halaman kosong kehidupan  dengan denyut nadi berapi-api penuh semangat seolah tak padam oleh rinai hujan. Sesudahnya, mereka bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan kini mereka terpisah  dengan perasaan yang asing hingga  begitu sulit memahami siapa diri sebenarnya. Di ruang kosong yang semula dipenuhi bias cahaya sang mega, mereka bertatap muka penuh gairah. Di penjuru halaman kosong itu kini  bergantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma, rindu akan menimba ilmu bersama mereka lagi dibangku rapuh sepi bisu. Sang pemilik cakar-cakar baja menutup mata akan keadaan di sudut-sudut yang jauh dari pemberitaan media. Kiranya menurut mereka megahnya pendidikan dikota sudah cukup sebagai wakil bahwa di negeri merdeka ini pendidikan sudah maju, hanya lalat-lalat yang biasa hinggap dikumuhnya sudut negeri yang dapat memahami wajah pendidikan negeri ini. Semoga kupu-kupu masih mengepakkan sayap indahnya terbang menemani pejuang-pejuang seperti roni yang membeli pendidikan semahal berlian.
***