Aku
bingung harus memulai kisah ini darimana, bingung hendak pakai alur apa. Tapi
baiklah aku ceritakan saja entah itu darimana, entah kisahnya maju,
bolak-balik, atau mundur karena sudah kukatakan aku pun bingung.
Aku
tinggal di sebuah bilik megah yang ada di dalam sebuah istana mahamegah, istana
bertahtakan intan dan berlian yang berdiri di sebuah negeri mahakaya yang
malamnya diterangi kilau emas permata. Namun dengan segala kemegahan yang aku
dapatkan aku merasa seperti seorang tahanan tanpa harapan. Aku jenuh pada
keterpenjaraanku, waktu berlalu bagai momok di lorong sunyi : meninggalkanku
dalam ketakutan. Kadang ketakutan itu menjelma menjadi ketaatan : ketundukan
penuh harapan. Kuhabiskan sepertiga malamku di atas sajadah, bertasbih
memujaNya.
Aku
tak diam begitu saja, aku berusaha menjebol dinding-dinding kamarku. Aku mau
bebas, walau menjemput kebebasan sama dengan mati. Tak sia-sia usahaku, Tuhanku
yang baik hati membebaskanku dengan sepenuh restu. Lepas itu aku pergi
mengelana ke setiap sudut negeriku bahkan ke negeri-negeri lain di seluruh
penjuru dunia, mengurat jejak pada tenggorokan dan paru-paru manusia-manusia.
Aku melewati desiran sejarah yang panjang dan menyedihkan bagiku.
Manusia-manusia memaki, mencaciku sekenanya.
Aku
sampai lupa mengatakan kalau aku dilahirkan dari panas membara, lalu entah
siapa yang lepas itu menamaiku. Lepas itu, mereka : manusia-manusia, dengan
lancang memuat namaku dalam esai, puisi, cerpen, bahkan selama beberapa bulan
setiap tahun aku selalu jadi topik terhangat yang di perbincangkan di televisi.
Mereka menelanjangiku sesuka mereka padahal aku tidak menjalang bahkan tidak
murahan seperti mereka.
Sepenuh
masa kebebasan dalam hidupku kugunakan untuk memenjarakan mereka dan rumah
mereka : manusia-manusia. Kupenjara segala kenikmatan yang biasa mereka cecap,
yang tidak mereka jaga sepenuh jiwa, yang tidak mereka hargai sebagai pemberian
yang Mahakuasa, mereka benar-benar kufur nikmat. Aku butuh seribu tangan untuk menggoyahkan
tubuh mereka agar bangun.
Demi
lukaku, telah kupekikkan amarahku, aku penjara cahaya matahari, kuenyahkan
mereka dari istana kami. Aku tak peduli entah mereka itu pendosa atau tidak
karena aku sudah kalap, kesumatku telah tertancap. Bagiku aku bahkan belum
melakukan apa-apa untuk perlakuan yang pantas bagi seorang penjahat. Aku jijik
melihat tingkah petinggi dan pembesar yang menjualku sebagai ajang mencari
simpati, belum lagi mahasiswa-mahasiswa, mereka pikir mereka keren dengan
demonya itu? Bagiku itu tak lebih dari sekedar sampah!
Manusia-manusia
berlagak muntab betul padaku, terkadang aku ingin muntah bila melihat mereka
dengan topengnya itu. Mereka pikir mereka bisa membunuhku hanya dengan
kemuntaban mereka itu? Bagaimana manusia? Dengan hujan buatan kemarin malam,
tak mampu membunuhku bukan?
Kalian
tidak paham mengapa aku senang sekali berlama-lama di istana kalian yang bagiku
juga istanaku. Sama seperti aku yang juga tak paham mengapa kalian senang
sekali memenjarakanku disini. Tapi, seperti balita kalian mengoceh menyalahkan
aku. Tidak adil, bukan?
Kalian
tak perlu risau sangat, sebab aku bukan Tuhan yang kekal. Suatu saat nanti bila
aku mati pada kematianku pada hari yang telah tertulis di lauh mahfuz, kan
kalian dapati aku menyelinap, menjengah diantara tumpukan daun kering, kadang
aku hadir dari mulut yang agak terdedah lepas menghisap kretek. Kalian tau
kenapa? Kupinjam apa kata Chairil “Aku mau hidup seribu tahun lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar