apakah anda senang berkunjung ke blog saya?

Kamis, 01 Oktober 2015

PENGAKUAN ASAP


            Aku bingung harus memulai kisah ini darimana, bingung hendak pakai alur apa. Tapi baiklah aku ceritakan saja entah itu darimana, entah kisahnya maju, bolak-balik, atau mundur karena sudah kukatakan aku pun bingung.
            Aku tinggal di sebuah bilik megah yang ada di dalam sebuah istana mahamegah, istana bertahtakan intan dan berlian yang berdiri di sebuah negeri mahakaya yang malamnya diterangi kilau emas permata. Namun dengan segala kemegahan yang aku dapatkan aku merasa seperti seorang tahanan tanpa harapan. Aku jenuh pada keterpenjaraanku, waktu berlalu bagai momok di lorong sunyi : meninggalkanku dalam ketakutan. Kadang ketakutan itu menjelma menjadi ketaatan : ketundukan penuh harapan. Kuhabiskan sepertiga malamku di atas sajadah, bertasbih memujaNya.
            Aku tak diam begitu saja, aku berusaha menjebol dinding-dinding kamarku. Aku mau bebas, walau menjemput kebebasan sama dengan mati. Tak sia-sia usahaku, Tuhanku yang baik hati membebaskanku dengan sepenuh restu. Lepas itu aku pergi mengelana ke setiap sudut negeriku bahkan ke negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia, mengurat jejak pada tenggorokan dan paru-paru manusia-manusia. Aku melewati desiran sejarah yang panjang dan menyedihkan bagiku. Manusia-manusia memaki, mencaciku sekenanya.
            Aku sampai lupa mengatakan kalau aku dilahirkan dari panas membara, lalu entah siapa yang lepas itu menamaiku. Lepas itu, mereka : manusia-manusia, dengan lancang memuat namaku dalam esai, puisi, cerpen, bahkan selama beberapa bulan setiap tahun aku selalu jadi topik terhangat yang di perbincangkan di televisi. Mereka menelanjangiku sesuka mereka padahal aku tidak menjalang bahkan tidak murahan seperti mereka.
            Sepenuh masa kebebasan dalam hidupku kugunakan untuk memenjarakan mereka dan rumah mereka : manusia-manusia. Kupenjara segala kenikmatan yang biasa mereka cecap, yang tidak mereka jaga sepenuh jiwa, yang tidak mereka hargai sebagai pemberian yang Mahakuasa, mereka benar-benar kufur nikmat. Aku butuh seribu tangan untuk menggoyahkan tubuh mereka agar bangun.
            Demi lukaku, telah kupekikkan amarahku, aku penjara cahaya matahari, kuenyahkan mereka dari istana kami. Aku tak peduli entah mereka itu pendosa atau tidak karena aku sudah kalap, kesumatku telah tertancap. Bagiku aku bahkan belum melakukan apa-apa untuk perlakuan yang pantas bagi seorang penjahat. Aku jijik melihat tingkah petinggi dan pembesar yang menjualku sebagai ajang mencari simpati, belum lagi mahasiswa-mahasiswa, mereka pikir mereka keren dengan demonya itu? Bagiku itu tak lebih dari sekedar sampah!
            Manusia-manusia berlagak muntab betul padaku, terkadang aku ingin muntah bila melihat mereka dengan topengnya itu. Mereka pikir mereka bisa membunuhku hanya dengan kemuntaban mereka itu? Bagaimana manusia? Dengan hujan buatan kemarin malam, tak mampu membunuhku bukan?
            Kalian tidak paham mengapa aku senang sekali berlama-lama di istana kalian yang bagiku juga istanaku. Sama seperti aku yang juga tak paham mengapa kalian senang sekali memenjarakanku disini. Tapi, seperti balita kalian mengoceh menyalahkan aku. Tidak adil, bukan?
            Kalian tak perlu risau sangat, sebab aku bukan Tuhan yang kekal. Suatu saat nanti bila aku mati pada kematianku pada hari yang telah tertulis di lauh mahfuz, kan kalian dapati aku menyelinap, menjengah diantara tumpukan daun kering, kadang aku hadir dari mulut yang agak terdedah lepas menghisap kretek. Kalian tau kenapa? Kupinjam apa kata Chairil “Aku mau hidup seribu tahun lagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar