Pernahkah kau merasa begitu
berdosa? Pernahkah kau merasa bahwa
kaulah orang paling bersalah didunia? Pernahkah kau merasa menjadi satu-satunya orang yang pantas disalahkan
atas adanya suatu masalah? Detik-detik waktu mungkin cepat berlalu, ringan berjalan dengan kerendahannya, tetapi
berat kita rasakan. Sejauh mata memandang langit seperti tiada lagi berujung,
secepat kaki melangkah tetap terasa jalan ditempat, separah itukah momok rasa
bersalah?.
Menangis? Meratap?
Menyalah-nyalahkan diri sendiri? Itu yang kau lakukan? Lantas, bisakah dosanya langsung terhapus
seperti ombak yang menghapus setiap tulisan diatas pasir dipantai? Tidak!,
itulah kebodohan yang saat ini sedang kulakukan, menangis, meratap,
menyalah-nyalahkan diriku sendiri. Membiarkan perutku lapar karena
kesombonganku sok mau menebus rasa bersalah, sok ingin merasakan penderitaan
orang yang telah aku lukai perasaannya. Aku membiarkan dua sungai kembar
diwajahku terus meluap menyapu setiap kemolekan desa yang dilaluinya , sungai
yang kelelahan, tak henti meluap. Apakah ada yang bisa diperbaiki dengan
kelakuanku sekarang? Tidak! Aku hanya semakin menambah kacau keadaan yang sudah
seperti hotel kebakaran! Aku tak hanya
sedang melakukan tindakan bodoh, tetapi ini adalah sebuah kemahatololan seperti
kata ikal dalam novel laskar pelangi, sekarang aku sudah terkena penyakit gila
nomer 4 versi ibunya ikal, membiarkan rambutku awut-awutan,menangis dan meratap
didalam kamar sambil memeluk boneka cantikku yang penuh nuansa kenangan, aku
terus meracau menyalah-nyalahkan diri sendiri, air mata sudah seperti hujan di
bulan desember, sampai membuat pipiku terasa lengket, ini penyakit gila yang
sudah akut, karena semakin kecil nomornya, penyakit gilanya semakin mendekati
parah. Ya allah? Jangan kirim aku kerumah sakit jiwa, aku masih mencintai rumah
ini, rumah dimana sejak kecil aku dibesarkan disini.
Sejak kecil aku tinggal bersama kakek dan
nenekku didesa, kampung halaman ibuku. Dulu aku terkena penyakit aneh, yang
mana penyakitku kambuh jika aku jauh dari nenek, bahkan dulunya kata ibu dan
ayah hampir saja aku meninggal, mungkin ini seperti mitos yang hanya ada
dizaman jahiliyah atau zaman kebodohan, tapi tidak, tuhan menakdirkan itu semua
atasku, karena keadaanku yang semakin memburuk akhirnya ayah sebagai kepala
rumah tangga kerajaan cinta keluarga kami mengambil keputusan untuk mengalihkan
hak asuhku kepada nenek. Hak asuh?
Mungkin gak hak asuh namanya, karena
didalam kartu keluarga atau dimanapun nama ayahku adalah nama ayah, dan
aku masih menjadi tanggungan ayah, mungkin hak asuh yang disebut ayahku
hanyalah hak asuh sebagai makna kiasan yang diambil dari kamus besar bahasa
kerajaan cinta keluarga kami,hahaha.Tepatnya waktu itu aku berusia 4 tahun saat
mulai tinggal bersama nenek.
“nenek adalah nenek paling hebat didunia,
nenek yang paling aku sayang sedunia”,
aku dulu pernah menulis rangkaian kata-kata itu tatkala aku masih kelas
3 SD. Aku rasa rangkaian kata-kata itu memang benar adanya, jika teringat semua
pengorbanan dan kasih sayang nenek untukku,
aku jadi bingung harus lebih
sayang ibu atau nenek?. Teringat dulu waktu aku masih TK, nenek jemput aku
kesekolah naik sepeda, panasnya matahari tidak dihiraukan nenek demi aku. Aku
teringat nenek beliin aku boneka waktu hari ulang tahunku yang ke-5, aku punya
lagu untuk boneka itu : “boneka cantik yang beli nenek, boleh dilihat gak boleh
dipegang, bonekanya cantik bisa merem melek, hatiku senang,nenekku
sayang”(dibaca dengan nada lagu ‘boneka dari india’). Itulah boneka yang saat
ini kupeluk, bonekanya sudah renta,boneka
yang sudah berlubang disana sini menjadi tempat berkubang air mataku sekarang.
Karena saat ini usiaku sudah 16 tahun. Berarti bonekanya sudah berapa tahun? Hitung
sendiri lah!
Nenek biasanya bangun pagi-pagi
buta buatin aku sarapan,dari aku umur 4 tahun sampai sekarang. Nenek sayang sama aku, sayang sekali, aku
juga sayang sama nenek . Seiring
keringnya air mataku, aku mengambil buku
harianku yang biasa menjadi kekasih yang menemani dan mendengarkan setiap
curahan hatiku. Saat kubuka halaman-halamannya, tiba-tiba mataku terpaku
melihat tulisan tanganku sendiri.
29 Desember 2012
Puisi yang nggak seberapa ini aku tulis
buat bapak yang udah jahat sama nenek, biar aku ingat dan bisa menghukum diriku
sendiri kalau sampai aku melukai hati nenek :
Jangan sakiti permataku
Sebenarnya aku ingin semua baik-baik
saja
Jangan sakiti lagi permataku
Tolonglah aku
Bisakah anda hargai sedikit saja
Jasa-jasanya untuk anda
Anda bisa seperti sekarang karena
siapa?
Karena permataku, kan?
Permataku tak butuh uang atau benda
berharga anda!
Anda tak perlu memberi itu untuknya!
Dia hanya butuh anda temani dihari
senjanya
Dia ingin bermain-main dengan buah hati
anda
Tega
anda menggoreskan luka dikerentaannya?
Tega anda membuat air matanya mengalir?
Aku saja tidak sanggup melihatnya!
Tak cukup anda dulu membuat lidahnya
kelu Karena menasehati kalian?
Tak cukup anda dulu membuatnya menangis
karena tingkah anda yang berandal?
Apa susahnya menyenangkan hatinya?
Jenguk dia, dia butuh anda!
“bapak
jahat kali, gak mau pulang sebentar aja lihat nenek,padahal nenek kan
lagi sakit, rindu sama bapak, rindu sama adek nadia. Tega bapak buat nenek nangis. Aku janji sama diriku sendiri, gak akan
maafin diriku sendiri kalau sampai aku buat nenek nangis kaya bapak buat nenek
nangis! Aku benci bapak!”.
Kututup kembali bukuku, tulisan
itu membuatku merenung.
Ya allah, dulu aku pernah nulis
itu, tapi sekarang semua tulisan itu aku munafiki!, seharusnya ini malam yang
indah, ini malam takbir, malam idul fitri, tapi kesucian bulan ini telah aku
nodai. Tadi aku marah sama nenek, dengan nada suara yang keras, “ama gak senang sama nadia nek!”, “ ama
maunya nadia cepat-cepat pulang karena dia rusuh, bandal kali, padahal udah 6
tahun tapi kebandalannya gak kurang-kurang, terlalu dimanjakan pula sama bapaknya!”.
“suka ngerjain ama lagi, sebentar-sebentar minta susu, harus ama lagi yang
buatin nek, kalau enggak dia nangis,
masih ngedot lagi, manjanya ampun kali nek!.”.
Tadi sore waktu aku lagi nulis-nulis,
tiba-tiba nadia loncat dari punggungku, bukuku terpijak kaki mungilnya yang
kotor karena dia abis menginjak tanah enggak pakai sandal, jelas aja bukuku
jadi kotor, udah gitu, bukuku malah disobek-sobek lagi. Aku pun muntab stadium
4, dia langsung lari sebelum sempat kucubit. Aku kesel sampai tulang sum-sum.
Semua tulisan-tulisan penting aku ada disitu tanpa aku punya duplikatnya.
Marah,kesel, semua bersatu seperti gado-gado.
Padahal lebaran tahun ini yang
pulang Cuma orangtuaku sama orangtua sepupu kecilku nadia, yang lainnya gak
pulang, tapi aku malah bilang gitu. Nenek jawab aku dengan nada sedih, dalam
keremangan kamar kulihat air mata menetes dari kerentaan mata nenek yang memancarkan
cahaya redup. “ama kenapa bilang gitu? Padahal nenek kan juga pingin main-main
sama nadia, apa ama gak mau nenek senang? Lihat tetangga kita, dia sedih karena
anaknya gak ada yang pulang satupun, ama kok malah mau anak nenek cepat-cepat
pulang? ama udah gak senang lagi lihat
nenek senang? Cuma sekali-sekalinya bapakmu datang, itu pun gak pasti untuk
setiap lebaran!, nenek berkata sambil terisak. Ucapan nenek membuat aku
terdiam, badanku rasanya tersengat listrik ribuan watt, ulu hatiku rasanya ditusuk
tombak yang paling tajam di asia tenggara, kakiku rasanya lumpuh seketika, aku
seperti patung hidup, beku, kaku, pucat, perasaanku ajaib kosongnya, aku sampai
nggak tau nenek keluar dari kamarku.
Ya Allah, aku udah memunafiki
tulisan yang pernah aku tulis di buku harianku, aku udah seperti DPR di
indonesia, membuat undang-undang tapi untuk dilanggar, aku membuat janji diatas
kertas putih tak berdosa, tapi aku yang merusak janji suci itu!, “ya Allah
bukankah kau akan menempatkan golongan-golongan orang munafik didasar neraka? “
Teringat semua kasih sayang
nenekku selama ini, mataku sampai tidak punya air mata untuk ditangiskan. Aku
ingat waktu reumatik nenek kambuh, nenek enggak bisa jalan, betul-betul nggak
bisa, nenek mau kemana-mana berpegangan kursi plastik, tapi waktu itu di pagi
buta dengan segala dinginnya yang menusuk tulang nenek rela bangun masakin aku
nasi goreng sama telur mata sapi
kesukaanku, padahal waktu itu reumatik nenek lagi parah-parahnya menjangkit
kakinya, segitu besarnya kasih sayang nenek buat aku, tega aku buat nenek
nangis? “Cucu macam apa aku ini? Ya Allah turunkan apimu sekarang, bakar aku
sekarang agar bisa kurasakan sakitnya hati nenek!”
“Ya Allah, apakah lebih besar
dosaku daripada arsy-Mu?”
“Ya Allah aku percaya, sebesar apapun
dosaku lebih besar pengampunan-Mu untuk hamba-hamba-Mu”
Aku melangkah pasti, mencari nenek disetiap sudut rumah. Kulihat nenek tertidur pulas dikamarnya
sambil memeluk nadia yang juga sudah tertidur, kulihat kelopak mata nenek
basah, disudut matanya ada bekas air mata, kuhapus air mata itu perlahan,
kukecup kening nenek yang keriput, besok aku akan minta maaf sama nenek,
restui aku ya Allah”~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar