Menyusuri Lorong Kenangan Ajip Rosidi
Judul: Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan
Penulis: Ajip Rosidi
Tebal: 1330 halaman
Penerbit: Pustaka Jaya
Terbit: Januari 2008
Ajip Rosidi memang tokoh luar biasa. Ia bukan orang baru dalam jagat
sastra Indonesia. Pemikirannya telah memberikan sumbangan yang sangat
berharga bagi sastra dan kebudayaan Indonesia. Namun siapa sangka, guru
besar tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing),
Jepang, ini bahkan tidak memiliki ijazah sekolah menengah.
Itulah salah satu kisah hidup yang disampaikan oleh Ajip Rosidi dalam
buku Hidup Tanpa Ijazah ini. Di dalam buku ini Ajip mengisahkan, alasan
mengapa ia tidak memiliki ijazah sekolah menengah.
Kejadiannya bermula ketika ujian nasional sekolah menengah ditahun 1956,
dikabarkan sering mengalami kebocoran soal. Banyak orang yang dapat
memperoleh soal ujian sebelum waktu ujian tiba. Tentu saja, caranya
dengan menyogok guru sekolah.
Dari kenyataan inilah Ajip Rosidi memilih untuk tidak mengikuti ujian
sekolah menengah. Baginya, hidup tidak harus digantungkan pada secarik
kertas bernama ijazah. Prestasi kerja, kemampuan dan pengakuan
masyarakat terhadap seseoranglah yang dapat menentukan seseorang dapat
bekerja atau tidak.
Oleh karena itu, Ajip yang saat itu sudah memperoleh pengalaman mengajar
dan menulis sastra, merasa tidak memerlukan ijazah lagi. Ia ingin
membuktikan bahwa seseorang dapat hidup tanpa ijazah. Keinginannya
tersebut ia kemukakan kepada kepala sekolahnya.
Dari sisi yang lain, Ajip dapat digolongkan sebagai seseorang yang
berani untuk mengungkapkan gagasan dan opininya mengenai sesuatu. Ia
selalu bicara langsung pada inti persoalan, tanpa ditutup-tutupi, jika
ada hal yang ingin disampikan. Ia bahkan seperti tidak memedulikan siapa
orang yang sedang diajaknya bicara. Apalagi kalau dirinya yakin apa
yang dikemukakannya adalah sesuatu yang benar.
Misalnya saja ketika ia mengungkapkan ketidaksetujuannya perihal roman
psikologis yang disampaikan oleh guru Kesusateraan Indonesia di sekolah
menangah. Ketika itu Ajip mengemukakan argumentasinya. Namun belum
selesai ia bicara, guru tersebut membentak dan menyuruhnya keluar.
Sayang, pada bagian ini Ajip tidak menceritakan kelanjutan peristiwa
tersebut. Apakah ia benar-benar keluar dari kelas, atau tetap berada di
dalam kelas dan mempertahankan argumentasinya.
Keberanian Ajip tersebut terus terbawa saat ia berkiprah sebagai
satrawan. Misalnya saja ketika ia menuliskan karangannya di
Sipatahaoenan. Ketika karangan tersebut dimuat, reaksi yang muncul
sungguh di luar dugaan. Kala itu ia mendapat serangan dari banyak
sastrawan Sunda. Namun semua itu ditanggapinya dengan nada
mengolok-olok. Tujuan Ajip tentu bukan sekadar mengolok-olok, tetapi ia
ingin ada geliat baru dalam kesusatraan Sunda.
Nada serupa juga terlihat ketika Ajip menanggapi rencana rektor
Universitas Padjadjaran untuk memberikan gelar penghormatan. Namun
hingga melewati batas waktu yang direncanakan, tidak juga ada kejelasan
soal pemberian gelar kehormatan tersebut. Akhirnya, pidato yang
dipersiapkan untuk menerima gelar kehormatan itu dimasukkan ke dalam
buku yang diterbitkan untuk menyambut 70 Tahun Romo dick Hartoko yang
sudah dikenalnya sejak lama.
Menanggapi ketidakjelasan tersebut, Ajip Rosidi mengatakan bahwa ia
tidak memerlukan gelar penghargaan. Selama ini ia sudah hidup cukup baik
tanpa gelar apa pun. Ketika temannya meminta Ajip untuk menelusuri
surat rahasia dari Menteri Pendidikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi,
Ajip menolak dan dengan tegas. Ia mengatakan, dirinya tidak membutuhkan
gelar itu. Bagi Ajip gelar tersebut tidak banyak artinya. Gelar
kehormatan itu tidak akan menaikkan gajinya di Jepang, dan tidak akan
membuatnya lebih terkenal.
Salah satu gagasan penting Ajip Rosidi dalam kesusasteraan adalah
pemberian penghargaan Rancage. Hadiah ini diberikan khusus kepada
karya-karya sastra berbahasa daerah. Pada awalanya penghargaan tersebut
hanya diberikan kepada karya sastra Sunda. Namun pada perkembangannya,
hadiah Rancage tidak hanya diberikan kepada sastra berbahasa Sunda,
tetapi juga bahasa daerah lainnya seperti Sastra Jawa dan Sastra Bali.
Ajip mejelaskan, pemberian hadiah Rancage adalah semata-mata untuk
menunjukkan bahwa kerja keras para penulis sastra daerah mendapat
perhatian yang layak, dan dihargai. Kata Rancage sendiri diambil dari
carita pantun yang berarti aktif-kreatif.
Di samping gagasan dalam sastra dan kebudayaan, hal yang juga menarik
dari buku ini adalah penggalan-penggalan cerita dari sejumlah orang yang
pernah berinterkasi dengan Ajip. Mereka bisa keluarga, kerabat,
satrawan, pejabat atau tokoh politik yang pernah bertemu dengannya. Dari
sinilah pembaca dapat mengetahui kisah-kisah yang bersifat human
interest dari tokoh tersebut.
Salah satu orang dikisahkan oleh Ajip adalah Pramoedya Ananta Toer.
Dalam buku ini Ajip memaparkan bahwa Pramoedya adalah orang yang sangat
egosentris. Buktinya Pramoedya mengajak istrinya untuk tidak tinggal
bersama mertuanya. Meskipun mertuanya adalah orang kaya yang memiliki
banyak rumah, namun Pramoedya memilih untuk tinggal di rumah petak
beralas tanah di kawasan Rawamangun, Jakarta, bersama istrinya. Padahal,
menurut Ajip, mungkin baru saat itulah Maemunah, istri Pramoedya, untuk
pertama kalinya tinggal di rumah beralas tanah.
Masih kisah di seputar Pramoedya, Ajip menceritakan bagaimana di masa
Pram mengalami krisis keuangan, ia mendapat order untuk menerjemahkan
karya utama Maxim Gorky, Ibunda. Menurut Ajip, tidak mengherankan jika
Pramoedya sampai beranggapan bahwa orang yang membantunya ketika
mengalami kesulitan adalah orang kiri. Hal ini terjadi ketika sejumlah
majalah tidak mau lagi memuat tulisan-tulisannya, dan beberapa penerbit
mengembalikan hak penerbitannya serta berhenti mencetak buku-buku
Pram.Buku Hidp Tanpa Ijazah ini memang menarik untuk dibaca. Gaya
bertutur Ajip yang khas, tulisan yang enak dibaca, dan isi yang kaya,
membuat pembaca tidak bosan untuk membaca buku ini hingga akhir, seperti
menyusuri lorong kenangan yang sarat dengan kisah dan cerita hidup.
halo Fatma, sudah baca bukunya ya? beli dimana? saya pengen juga..
BalasHapusoh ya, kok kenal ajip rosidi? apa kuliah di bidang sastra?