apakah anda senang berkunjung ke blog saya?

Sabtu, 18 Oktober 2014

GADIS DENGAN BAJU TEROPONGNYA



         Siang ini sang mega berpijar membara menjilat-jilat bumi, seolah neraka mengalami kebocoran. Hembusan angin yang biasanya menyejukkan kini malah terasa menyengat, angin datang bersama hawa panas dan debu kemarau yang tak terendus hujan. Setiap jiwa yang tidak berada dalam ruangan dengan pendingin merasakan hal yang sama. Peluh mengucur sambut menyambut. Di sudut sebuah kelas seorang mahasiswi bernama mutiah tengah disibukkan dengan tugas dari dosennya, mematut diri di depan buku, melirik sebentar lalu menulis. Terlihat peluh menghiasi wajah cantiknya, perlahan tapi pasti peluh  menitik dikertas tempat ia menulis lalu membentuk lingkaran letih.
            “Ada perubahan nih mut, apa kamu gak kepanasan mut? Dibungkus gitu kaya lontong aja hahaha, aku aja yang cuma liat penampilan kamu mendadak jadi gerah”
            “Enggak kok, pakai kaya gini kan wajib untuk setiap wanita muslimah terlebih yang sudah baligh” ucap mutiah seraya memegang kerudung panjangnya serta gamisnya yang longgar.
            “Alah, gak usah tausyiah kamu, kamu ngerti apa soal agama, ayah aku ustadz, gak perlu kamu ngajarin aku, lihat tuh penampilan kamu kaya nenek-nenek tahun 70-an”
            Astaghfirullahhaladzim” ucap mutiah sampil mengelus dada, takut terpancing emosinya apalagi suasana yang panas sangat mendukung belum lagi syaitan yang tidak pernah menyerah untuk terus menggoda manusia.
            “Aku malu berteman sama kamu, kenapa kamu berubah jadi seperti ini, seperti teroris saja pakaian kamu”
            “Riani, kamu….”
            “Kamu apa hah?” ucap riani sinis.
            “Aku berubah karena ini benar, ini wajib”
            “Ah, sudahlah, dengar baik-baik ya! Aku tidak akan mau berteman denganmu lagi selama pakaianmu masih norak seperti ini”
            “Tapi, riani....”ucap mutiah lirih sembari meraih lengan riani.
            “Sudahlah” balas riani ketus sambil mengibaskan lengannya dan pergi meninggalkan mutiah seorang diri disudut ruangan yang menjadi saksi percakapan mereka.
            “Salahkah berubah menjadi seperti yang Engkau pinta ya Khalik?” Tanya mutiah dalam tengadah tangannya. Wajahnya yang berpeluh terlihat muram. Mutiah tidak menyesali perubahannya, hanya saja ia menyesali mengapa temannya begitu menutup hati akan perintah Allah, malah tidak mau berteman dengannya lagi.
            Berbagai ejekan yang terlontar dari bibir teman-temannya tak membuat mutiah menanggalkan hijabnya. Bahkan tidak jarang mutiah dikatai  teroris, sok alim dan sok suci. Tak sedikit teman yang meninggalkannya karena hijabnya. Tetapi mutiah menyadari jika seluruh temannya meninggalkannya atau bahkan seluruh dunia meninggalkannya masih ada Allah yang selalu ada untuk mutiah disetiap desah napasnya.
            “Beli kerudung sepanjang itu dimana mut?” ucap maya sambil tertawa mengejek.
            “Beli sama kakak tingkat may, kenapa? Mau beli juga? Biar nanti aku bilangin ke kakaknya” ucap mutiah menjawab pertanyaan maya.
            “Enggak ah, nanya aja, aku belum siap pakai kerudung sepanjang itu, belum dapat hidayah”. jawab maya yang memang masih suka memakai kerudung dengan beragam tren berhijab zaman sekarang. Padahal kerudung itu berfungsi sebagai penutup aurat bukan pengganti aurat. Tetapi maya memposisikan kerudung sebagai pengganti aurat, dimana apa yang dilakukan maya masih membuat ketar-ketir hati laki-laki yang melihatnya. Kerudung maya tidak menutup dada, dan lagi rambut serta telinga maya masih membayang karena tipisnya kerudung yang ia kenakan. Sebenarnya masih banyak maya maya lain diluar sana yang belum mengerti berhijab secara syar’i. kebanyakan wanita mengatakan belum mendapat hidayah padahal hidayah itu kan petunjuk dan Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia yaitu Al-Qur’an, hanya saja manusia yang tidak mau menjemput hidayah tersebut.
***
            Pagi ini sang mega terlihat malu-malu menyembul di langit, hujan baru saja reda, titik-titik air masih berjatuhan sedikit-sedikit. Hujan menyisakan hawa dingin. Mutiah berjalan ke kampus mengenakan jaketnya. Setibanya dikampus keadaan masih lengang, mutiah menjadi orang  pertama yang datang. Hujan memang sering melenakan.
            Assalamu’alaikum mutiah” sapa seseorang dari arah belakang.
            Wa’alaikumussalam Faqih” ucap mutiah seraya membalikkan badan.
            “Sendiri saja, udah lama disini?”
            “Iya belum ada teman yang datang” ucap mutiah sambil menunduk menjaga pandangannya.
            “Cepat sih kamu datangnya” balas faqih.
            “Sama seperti biasa kok, hmmm… aku kekelas dulu ya” jawab mutiah sembari melangkah meninggalkan faqih.
            “Tunggu sebentar mut” ucap faqih seraya berjalan kearah mutiah
            “Ada apa?” balas mutiah sembari menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang.
            “Ajari aku Kalkulus bisa?”
            Belum lagi mutiah sempat menjawab pertanyaan faqih, riani menghampiri mereka lalu mengatai mutiah.
            “Ngapai berduaan disini ustadzah? Gak sadar sama pakaian ya, malu-maluin aja” ucap riani sambil berlalu meninggalkan mutiah.
            “Maafkan aku ya mut, nanti biar aku jelaskan sama riani” ucap faqih.
            Mutiah tidak mau terpancing oleh riani, mutiah paham betul mengapa riani seperti itu, dulu mutiah juga pernah berpikiran bahwa memakai kerudung panjang, gamis longgar, dan kaos kaki terlihat aneh, dan seperti teroris, hanya saja sekarang mutiah sudah hijrah. Sedangkan riani belum, tugas mutiah bukanlah menanggapi kemarahan riani dengan kemarahan juga, tetapi membuat riani mengikuti jejaknya untuk hijrah.
***
            Memang benar setiap tindakan yang benar, selalu menuai pro kontra. Bahkan terkadang orangtua menyalahkan tindakan benar  anaknya. Mutiah mengalami hal tersebut. Tatkala libur kuliah mutiah pulang ke kampung halamannya. Berbagai gunjingan dan cercaan dari ibu-ibu dikampungnya ia terima. Bahkan suatu ketika tatkala ia iseng bertanya pada neneknya perihal pakaiannya sekarang neneknya mengatakan bahwa pakaiannya jelek dan neneknya menyuruhnya untuk biasa-biasa saja jangan terlalu berlebihan. Belum lagi ayahnya yang juga meledeknya.
            “Belum juga lama kuliah, udah jadi ustadzah ya” ledek seorang tetangganya
            “ibu bisa saja” ucap mutiah sembari tersenyum mencoba untuk sabar.
            “Lihat kamu ibu jadi kepanasan” sambung ibu yang lain
            Mutiah hanya tersenyum saja menanggapinya, berharap semoga ibu-ibu yang meledeknya bisa hijrah menuju kebenaran bersamanya. Untung saja bunda mutiah mendukung perubahan mutiah. Hanya saja nenek dan ayahnya yang masih kurang respek. Tetapi mutiah tetap berbaik sangka kepada Allah, mutiah percaya bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya, dan mutiah memahami bahwa selama ini telah banyak dosa yang ia lakukan dengan tidak menutup aurat dan ia menganggap apa yang ia terima saat ini sebagai penawar dosanya.
***
            Mutiah menyempatkan diri berkunjung ke SMAnya dulu, selain rindu dengan guru dan suasana sekolah ia juga rindu lingkungan sekolahnya. Tetapi yang ia dapati di SMAnya adalah tatapan heran seperti tidak suka dari guru dan adik kelasnya, ada beberapa guru yang senang atas perubahannya tetapi ada juga yang berbisik seolah perubahan mutiah itu buruk.
            ilfeel lah ibu liat mutiah sekarang, pake baju teropong gitu, ibu senang liat anak ibu berhijab tapi mutiah terlalu kali sampai pakaiannya double-double gitu” ucap salah seorang guru mutiah, guru yang paling dekat dengan mutiah, guru yang dulunya sudah seperti sahabat mutiah.
            “hmmm…. Jangan ilfeel lah bu, mutiah gak mau ibu ilfeel sama mutiah” ucap mutiah menimpali.
            “yakin mutiah bisa istiqomah? Nanti cuma sebentar pake baju teopongnya” balas guru mutiah meledek.
            Dalam hati mutiah menangis, tetapi sebenarnya matanya juga terlihat berkaca-kaca, hingga mutiah meminta diri untuk ketoilet sebagai alasan agar tangisnya tidak terlihat guru-gurunya. Di bawah pohon rindang tepat didepan kelasnya dahulu, mutiah menumpahkan segala kesedihannya dalam tangis. Sesekali ia menyeka air matanya lalu tangisnya pecah kembali. Syaitan terus memanfaatkan situasi ini untuk terus menggoda mutiah agar menanggalkan hijabnya tetapi mutiah mencoba teguh dalam menjalani perintah-Nya. Mutiah sudahss memahami bahwa berhijab bukan sebuah pilihan tetapi kewajiban. Semilir angin datang dan pergi sambut menyambut menerpa wajah mutiah meninggalkan rasa sejuk dihati mutiah yang semula gersang.
***
            Waktu terus bergulir, ejekan dari orang-orang terdekat mutiah hadir sambut menyambut, tetapi ternyata keadaan itu semakin membuat mutiah teguh keimanannya. Semua ia jadikan obat hati dan muhasabah diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mutiah terlihat anggun dalam balutan hijabnya, ia terus bertempur melawan godaan lingkungannya. Hingga akhirnya keadaan menjadi biasa, telinga dan hatinya telah kebal akan ucapan-ucapan mereka yang tak sepaham. Nenek dan ayah mutiah pada akhirnya mendukung mutiah dengan hijabnya. Subhanallah, janji allah itu pasti. Setelah kesulitan ada kemudahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar