Pekanbaru layaknya
bidadari surga pagi ini. Pagi yang memang masih belia dimana berkas sinar
rembulan masih menghiasi hitam pekatnya aroma malam. Hembusan angin disertai titik-titik embun yang menghempas
wajah membawa aroma melati dari surga menyisakan rasa sejuk di lorong-lorong
jiwa dan meninggalkan titik-titik kecil air dibulu mataku. Aku bangun lebih
awal dari bumi dan bekerja lebih cepat dari matahari, dimana bumi masih terlelap
dalam pelukan Bima Sakti, dan mentari masih berkelana ke Andromeda dalam mimpi
indahnya. Segerombolan kunang-kunang
berkerlap-kerlip menambah keindahan pagi di usia belianya ini. Selepas shalat
tahajjud tadi, aku memang berencana untuk lari pagi mengitari kompleks
perumahan, tepat pukul 04:05 aku melangkahkan kaki keluar rumah, dan ayah meminta untuk menemaniku lari pagi. Keadaan yang
sangat jarang terjadi karena biasanya ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya
sebagai anggota dewan, belum lagi ayah memiliki beberapa pabrik kelapa sawit
yang tersebar di wilayah Riau yang harus ia kelola. Tetapi bunda bilang ayah
bekerja keras agar aku dan bunda dapat hidup bahagia, apalagi ini zaman dimana
para pengangguran tumbuh subur seperti jamur dimusim hujan, dan lagi mencari
pekerjaan bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, karena itu seharusnya
aku bersyukur memiliki ayah yang bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga.
Dalam
keremangan sinar lampu dapat kulihat wajah ayah yang tersenyum kaku ketika
kutanya tentang kesibukannya diluar sana, ayah cepat-cepat mengalihkan
pembicaraan, menanyakan apakah aku sudah pandai memasak, menanyakan tentang
bakatku menarikan tarian daerah, aku yang masih polos dan lugu lantas melupakan
pertanyaan-pertanyaanku, lalu dengan semangat menceritakan tentang aku yang
sudah menjuarai perlombaan tari daerah seprovinsi Riau, juga menceritakan bahwa
aku sudah bisa menggulai ayam.
Setelah cukup lama
berlari, panggilan azan shubuh terdengar mengetuk-ngetuk kalbu, membangunkan
bumi dari lelapnya, menyadarkan mentari dari mimpi indahnya, Kami mempercepat
lari kami menuju rumah-Nya.. Begitu menggetarkan hati ketika nama-Nya dilantunkan,
bulu roma berlomba untuk bangun seolah ingin
ikut bersujud kepada-Nya. Dalam tengadah tanganku kuucapkan hamdalah berulang
kali atas nikmat-Nya pagi ini yang memberiku waktu bersama ayah. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah,
Alhamdulillah.
***
Sambil
menunggu guru masuk aku mengambil iPadku,
lalu kuputar lagu-lagu kebangsaan. Koleksi lagu-laguku memang didominasi
lagu-lagu wajib nasional dan lagu-lagu daerah. Aku juga sudah aktif dalam
panggung teater daerah sejak SMP. Sebenarnya aku blasteran
jawa batak, dan perpaduan dua darah berbeda yang ada dalam tubuhku membuatku
mencintai keberagaman. Lagi pula aku tinggal di Indonesia yang memiliki beragam
kebudayaan, adat istiadat, suku, bahasa, bahkan agama. Maka mencintai Indonesia
juga berarti menghargai dan mencintai
keberagamannya.
Pelajaran pertama hari
ini adalah Pendidikan kewarganegaraan, yang merupakan pelajaran kesukaanku,
walaupun setiap teori didalamnya tak jarang bertolak belakang dengan keadaan
dilapangan. DPR yang membuat undang-undang untuk dilanggar, aparat hukum yang
mau-maunya disuapi sedikit rupiah, para tikus-tikus kantor yang seenak udelnya menggerogoti uang rakyat, tanpa
pernah peduli kalau itu bukan haknya. Kalau dulu Indonesia dijajah oleh belanda
dan jepang dengan terang-terangan dan kekerasan yang amat menyiksa, tentu dapat
dilihat secara nyata bahwa mereka harus dimusnahkan. Tetapi sekarang
musuh-musuh atau penjajah Indonesia itu sendiri ada didalam ketiak negeri, mereka
sudah paham akan kelemahan-kelemahan negeri ini, menjadi dedengkot kaum
pengkhianat, yang begitu murahan merampas milik rakyat, tertawa diatas tangis
rakyat, bahkan tak sedikit yang membangun relasi dengan pihak luar demi meraup
keuntungan pribadi dan sadisnya rakyat tidak tahu secara nyata akan kejahatan
pemimpinnya, begitu kaum intelektual negeri ini, mendapat ilmu tapi untuk
menipu. Sebagai seorang anak yang pikirannya masih labil dulu aku berniat untuk
tidak sekolah, karena dalam kacamata labilku sekolah hanya akan menjadikanku seorang
pengkhianat negeri. Tetapi bunda berkata, jika ingin mengubah bangsa Indonesia
maka aku harus sekolah, lebih mendalami apa yang tidak aku pahami tentang
negeri ini.
***
Minggu
yang kelam, mentari seolah ditelan awan hitam, aku kebingungan dan mencoba
mencarinya pada liang langit tempat ia biasa menyembul anggun dan memburaikan
kemilau cahayanya. Aku termenung dalam pencarianku, dan tersadar tatkala angin dan
embun menampar wajahku, menyisakan lebam-lebam ilusi dipipiku, padahal biasanya embun sudah diuapkan mentari,
namun itulah akibatnya jika mentari tidak terbit, embun menjadi angkuh, seenaknya
menampar wajahku.
Segelas
cappuccino hangat menemaniku duduk
diberanda rumah. Kusruput cappuccinoku dengan lembut, menikmati setiap rasa dan kehangatan yang
disuguhkan. Tanpa melepaskan bibirku dari bibir gelas, tanganku merayapi meja
mencari koran harian yang biasa diantar kerumah. Belum lagi mataku sempat
menangkap bacaan-bacaan dikoran, bunda dari arah belakang sudah merebut koran
itu dari genggaman jemari lentikku. Dahiku mengerut penuh tanya, namun mata
bunda malah mengisyaratkan kegundahan yang tak bertepi seolah-olah menghardikku
dan memaksaku untuk tidak bertanya lagi.
Aku
beralih menonton TV. “KPK menemukan adanya tindak pidana ko….”. Belum lagi usai aku mendengar ucapan pembawa
berita, bunda sudah merebut remote
dari tanganku dan langsung menekan tombol power.
Aku semakin curiga dengan sikap bunda, apalagi kulihat mata bunda merah seperti
habis menangis, sikap bunda telah memunculkan ribuan pertanyaan dibenakku,
pertanyaan yang tidak terjawab, karena bunda lantas meninggalkanku seorang
diri. “Mungkinkah? Mung….” Tanyaku terputus karena ketukan keras dari luar
rumah, belum lagi teriakan mbok darmi yang sedikit menganggu telingaku,
“bu…bu…ada polisi nyari bapak”. Deg, instingku mulai menari-nari, namun kutepis
lagi. Samar-samar tendengar ucapan polisi diluar yang mengatakan pada ibu bahwa
ayah menjadi tersangka atas kasus korupsi dan kasus pembakaran hutan yang
diduga ayah adalah akarnya. Aku limbung, masih terpaku ditembok tempatku
bersandar, sungai kembar diwajahku tak kuat menahan gelombang yang menerjang, pipiku
sampai terasa pekat karena air mata yang tak kunjung mau berhenti, aku terduduk
dalam sandarku.
***
Petang
menjemput malam dengan kelelahan yang jelas tergambar, mentari membangunkan
bulan dari lelapnya, berabad-abad lamanya dan berjuta-juta kali telah dilakukannya,
namun mentari sebagai pusat jagad raya tidak pernah lupa akan tugasnya, selalu
mengingatkan anggotanya akan kewajiban sebagai ciptaan-Nya, mentari begitu
istiqomah mengemban amanah dari-Nya. Keadaan ini berbanding terbalik dengan
ayah yang posisinya juga sebagai pusat di jagad raya maya keluarga kami. Setelah
sebulan di luar kota, ayah akhirnya pulang, ayah memang tidak menyinggung tentang masalahnya, aku pun berpura-pura tidak
tahu akan semua yang terjadi. Terlihat jelas mata ayah yang menggambarkan ketakutan,
ayah terlihat kurus, perut buncitnya mulai mengempis, aku duduk diantara ayah
dan bunda, ayah membelai lembut rambutku sembari mengecup keningku, dan
kurasakan getaran sendunya menjalari setiap inci tubuhku, kebisuan kami
terpecah oleh alunan syahdu azan maghrib. Untuk kali pertama setelah
berbulan-bulan tenggelam dalam kesibukannya, ayah menjadi pemimpin shalat aku
dan bunda, tidak dapat kutahan gejolak air ditelaga beningku yang terus
mendesak menjebol benteng-benteng yang memang tak lagi kuat. Mukenah dan
sajadahku basah, pandanganku buram. Dalam tengadah tanganku aku bertanya
pada-Nya, apa yang harus kuperbuat? Kepada
siapakah aku harus berbakti dan membagi kasihku? Betapa dilema melanda setiap
ruang dalam jiwaku, betapa keadaan telah meremukkan sendi-sendiku. Setengah jam
aku terduduk dalam tengadah tanganku, sampai angin datang membawa pesan
dari-Nya sebagai jawaban atas tanyaku.
Malam
ini juga kuputuskan untuk pergi menunaikan tugasku sebagai seorang anak yang
berbakti kepada orangtua dan berbakti kepada negara. Aku pergi dari rumah
seorang diri. Dalam keremangan sinar lampu aku menangis, berharap semoga tiada
yang melihatku, walaupun aku tahu pandangan-Nya tak pernah lepas dariku.
Di
hadapan polisi kuceritakan perihal ayah yang sudah kembali kerumah dengan lengkap
tanpa tabir. Kuceritakan tentang
kesibukan-kesibukan ayah selama ini, tentang pabrik-pabrik kelapa sawit yang dikelola ayah, tentang kepergian
ayah keluar kota dan keluar negeri. Tangisku tiada berujung, walaupun bibirku
juga terus bercerita, terkadang tangis membuat ucapku tersendat, tapi demi
keadilan untuk negeri ini harus aku lakukan walaupun perasaanku teriris-iris
karenanya, walaupun naluriku sebagai seorang anak tak dapat berhenti
membodoh-bodohkan diri sendiri yang tega melaporkan kejahatan ayahnya sendiri,
namun disisi lain sebagai seorang warga negara yang tahu hakikat bernegara,
naluriku membenarkan tindakanku saat ini, bukankah ayah telah merebut hak-hak para rakyat kecil yang terkadang tidak
mendapatkan remahan sekedar penyejuk perut anak-anaknya? Bukankah ayah telah merampas tempat tinggal hewan-hewan
dihutan? Bukankah ayah telah mencemari udara sehingga mendapati udara bersih
dibumi lancang kuning ini seperti mendapati berlian mahal? Bukankah telah
banyak nyawa melayang karena kerakusan
ayah? dan beribu pertanyaan tak memiliki jawaban tersusun rapi dalam benakku, tapi
inilah pesan-Nya sebagai jawaban atas tanyaku yang harus aku laksanakan dan
terima suka dukanya.
***
Malam
seperti ikut merasakan kepedihanku, langit gelap kelam kelabu disertai awan
hitam yang berarak tak kuat menahan air yang berkondensasi lalu menjatuhkan
titik-titik hujan kebumi, cahaya lampu diberanda rumahku membias dalam
gelombang air yang membentuk kubangan-kubangan mungil dihalaman rumahku,
kulepas ayah dengan tangis, bunda mematung tetapi masih kentara air matanya
yang terus menitik seirama dengan kian derasnya hujan. Kupeluk ayah dengan erat
dan tangis yang tak kunjung reda, begitu juga ayah yang terisak, tak pernah
kulihat ayah sesedih ini. “maafkan anakmu yah” ucapku lirih, suaraku tenggelam
dalam irama hujan yang semakin menghentak. Kulihat ayah digelandang oleh pria
berseragam, angin menemani ayah dan segala kepedihannya pergi kerumah barunya
tanpa aku dan bunda. “Kalau dulu pahlawan negeri ini rela mengorbankan nyawanya
untuk merebut kemerdekaan, masa iya aku tidak mau mengorbankan perasaanku untuk
mempertahankan kemerdekaan?” Tanyaku lewat bisikan pada hati kecilku yang diam
seperti batu. “bismillah tawakkaltu ‘ala
Allah” dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah, ucapku
lirih selirih bisikan angin pada ranting-ranting pepohonan malam ini. Kudekap
jiwaku dalam linangan air mata yang tak kunjung usai. Dalam senyap berbalut luka
kudengar bumi indonesia berucap lirih “terima kasih atas cintamu nak”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar