apakah anda senang berkunjung ke blog saya?

Sabtu, 18 Oktober 2014

RUMAH BARU AYAH



 Pekanbaru layaknya bidadari surga pagi ini. Pagi yang memang masih belia dimana berkas sinar rembulan masih menghiasi hitam pekatnya aroma malam. Hembusan angin  disertai titik-titik embun yang menghempas wajah membawa aroma melati dari surga menyisakan rasa sejuk di lorong-lorong jiwa dan meninggalkan titik-titik kecil air dibulu mataku. Aku bangun lebih awal dari bumi dan bekerja lebih cepat dari matahari, dimana bumi masih terlelap dalam pelukan Bima Sakti, dan mentari masih berkelana ke Andromeda dalam mimpi indahnya.  Segerombolan kunang-kunang berkerlap-kerlip menambah keindahan pagi di usia belianya ini. Selepas shalat tahajjud tadi, aku memang berencana untuk lari pagi mengitari kompleks perumahan, tepat pukul 04:05 aku melangkahkan kaki keluar rumah, dan ayah  meminta  untuk menemaniku lari pagi. Keadaan yang sangat jarang terjadi karena biasanya ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai anggota dewan, belum lagi ayah memiliki beberapa pabrik kelapa sawit yang tersebar di wilayah Riau yang harus ia kelola. Tetapi bunda bilang ayah bekerja keras agar aku dan bunda dapat hidup bahagia, apalagi ini zaman dimana para pengangguran tumbuh subur seperti jamur dimusim hujan, dan lagi mencari pekerjaan bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, karena itu seharusnya aku bersyukur memiliki ayah yang bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga.
            Dalam keremangan sinar lampu dapat kulihat wajah ayah yang tersenyum kaku ketika kutanya tentang kesibukannya diluar sana, ayah cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, menanyakan apakah aku sudah pandai memasak, menanyakan tentang bakatku menarikan tarian daerah, aku yang masih polos dan lugu lantas melupakan pertanyaan-pertanyaanku, lalu dengan semangat menceritakan tentang aku yang sudah menjuarai perlombaan tari daerah seprovinsi Riau, juga menceritakan bahwa aku sudah bisa menggulai ayam.
Setelah cukup lama berlari, panggilan azan shubuh terdengar mengetuk-ngetuk kalbu, membangunkan bumi dari lelapnya, menyadarkan mentari dari mimpi indahnya, Kami mempercepat lari kami menuju rumah-Nya.. Begitu menggetarkan hati ketika nama-Nya dilantunkan, bulu roma  berlomba untuk bangun seolah ingin ikut bersujud kepada-Nya. Dalam tengadah tanganku kuucapkan hamdalah berulang kali atas nikmat-Nya pagi ini yang memberiku waktu bersama ayah. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.
***
            Sambil menunggu guru masuk aku mengambil iPadku, lalu kuputar lagu-lagu kebangsaan. Koleksi lagu-laguku memang didominasi lagu-lagu wajib nasional dan lagu-lagu daerah. Aku juga sudah aktif dalam panggung teater daerah sejak SMP. Sebenarnya aku  blasteran jawa batak, dan perpaduan dua darah berbeda yang ada dalam tubuhku membuatku mencintai keberagaman. Lagi pula aku tinggal di Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan, adat istiadat, suku, bahasa, bahkan agama. Maka mencintai Indonesia juga berarti  menghargai dan mencintai keberagamannya.   
Pelajaran pertama hari ini adalah Pendidikan kewarganegaraan, yang merupakan pelajaran kesukaanku, walaupun setiap teori didalamnya tak jarang bertolak belakang dengan keadaan dilapangan. DPR yang membuat undang-undang untuk dilanggar, aparat hukum yang mau-maunya disuapi sedikit rupiah, para tikus-tikus kantor yang seenak udelnya menggerogoti uang rakyat, tanpa pernah peduli kalau itu bukan haknya. Kalau dulu Indonesia dijajah oleh belanda dan jepang dengan terang-terangan dan kekerasan yang amat menyiksa, tentu dapat dilihat secara nyata bahwa mereka harus dimusnahkan. Tetapi sekarang musuh-musuh atau penjajah Indonesia itu sendiri ada didalam ketiak negeri, mereka sudah paham akan kelemahan-kelemahan negeri ini, menjadi dedengkot kaum pengkhianat, yang begitu murahan merampas milik rakyat, tertawa diatas tangis rakyat, bahkan tak sedikit yang membangun relasi dengan pihak luar demi meraup keuntungan pribadi dan sadisnya rakyat tidak tahu secara nyata akan kejahatan pemimpinnya, begitu kaum intelektual negeri ini, mendapat ilmu tapi untuk menipu. Sebagai seorang anak yang pikirannya masih labil dulu aku berniat untuk tidak sekolah, karena dalam kacamata labilku sekolah hanya akan menjadikanku seorang pengkhianat negeri. Tetapi bunda berkata, jika ingin mengubah bangsa Indonesia maka aku harus sekolah, lebih mendalami apa yang tidak aku pahami tentang negeri ini.
***
            Minggu yang kelam, mentari seolah ditelan awan hitam, aku kebingungan dan mencoba mencarinya pada liang langit tempat ia biasa menyembul anggun dan memburaikan kemilau cahayanya. Aku termenung dalam pencarianku, dan tersadar tatkala angin dan embun menampar wajahku, menyisakan lebam-lebam ilusi dipipiku,  padahal biasanya embun sudah diuapkan mentari, namun itulah akibatnya jika mentari tidak terbit, embun menjadi angkuh, seenaknya menampar wajahku.
            Segelas cappuccino hangat menemaniku duduk diberanda rumah. Kusruput cappuccinoku dengan lembut,  menikmati setiap rasa dan kehangatan yang disuguhkan. Tanpa melepaskan bibirku dari bibir gelas, tanganku merayapi meja mencari koran harian yang biasa diantar kerumah. Belum lagi mataku sempat menangkap bacaan-bacaan dikoran, bunda dari arah belakang sudah merebut koran itu dari genggaman jemari lentikku. Dahiku mengerut penuh tanya, namun mata bunda malah mengisyaratkan kegundahan yang tak bertepi seolah-olah menghardikku dan memaksaku untuk tidak bertanya lagi.
            Aku beralih menonton TV. “KPK menemukan adanya tindak pidana ko….”.  Belum lagi usai aku mendengar ucapan pembawa berita, bunda sudah merebut remote dari tanganku dan langsung menekan tombol power. Aku semakin curiga dengan sikap bunda, apalagi kulihat mata bunda merah seperti habis menangis, sikap bunda telah memunculkan ribuan pertanyaan dibenakku, pertanyaan yang tidak terjawab, karena bunda lantas meninggalkanku seorang diri. “Mungkinkah? Mung….” Tanyaku terputus karena ketukan keras dari luar rumah, belum lagi teriakan mbok darmi yang sedikit menganggu telingaku, “bu…bu…ada polisi nyari bapak”. Deg, instingku mulai menari-nari, namun kutepis lagi. Samar-samar tendengar ucapan polisi diluar yang mengatakan pada ibu bahwa ayah menjadi tersangka atas kasus korupsi dan kasus pembakaran hutan yang diduga ayah adalah akarnya. Aku limbung, masih terpaku ditembok tempatku bersandar, sungai kembar diwajahku tak kuat menahan gelombang yang menerjang, pipiku sampai terasa pekat karena air mata yang tak kunjung mau berhenti, aku terduduk dalam sandarku.
***
            Petang menjemput malam dengan kelelahan yang jelas tergambar, mentari membangunkan bulan dari lelapnya, berabad-abad lamanya dan berjuta-juta kali telah dilakukannya, namun mentari sebagai pusat jagad raya tidak pernah lupa akan tugasnya, selalu mengingatkan anggotanya akan kewajiban sebagai ciptaan-Nya, mentari begitu istiqomah mengemban amanah dari-Nya. Keadaan ini berbanding terbalik dengan ayah yang posisinya juga sebagai pusat di jagad raya maya keluarga kami. Setelah sebulan di luar kota, ayah akhirnya pulang, ayah memang tidak menyinggung  tentang masalahnya, aku pun berpura-pura tidak tahu akan semua yang terjadi. Terlihat jelas mata ayah yang menggambarkan ketakutan, ayah terlihat kurus, perut buncitnya mulai mengempis, aku duduk diantara ayah dan bunda, ayah membelai lembut rambutku sembari mengecup keningku, dan kurasakan getaran sendunya menjalari setiap inci tubuhku, kebisuan kami terpecah oleh alunan syahdu azan maghrib. Untuk kali pertama setelah berbulan-bulan tenggelam dalam kesibukannya, ayah menjadi pemimpin shalat aku dan bunda, tidak dapat kutahan gejolak air ditelaga beningku yang terus mendesak menjebol benteng-benteng yang memang tak lagi kuat. Mukenah dan sajadahku basah, pandanganku buram. Dalam tengadah tanganku aku bertanya pada-Nya,  apa yang harus kuperbuat? Kepada siapakah aku harus berbakti dan membagi kasihku? Betapa dilema melanda setiap ruang dalam jiwaku, betapa keadaan telah meremukkan sendi-sendiku. Setengah jam aku terduduk dalam tengadah tanganku, sampai angin datang membawa pesan dari-Nya sebagai jawaban atas tanyaku.
            Malam ini juga kuputuskan untuk pergi menunaikan tugasku sebagai seorang anak yang berbakti kepada orangtua dan berbakti kepada negara. Aku pergi dari rumah seorang diri. Dalam keremangan sinar lampu aku menangis, berharap semoga tiada yang melihatku, walaupun aku tahu pandangan-Nya tak pernah lepas dariku.
            Di hadapan polisi kuceritakan perihal ayah yang sudah kembali kerumah dengan lengkap tanpa tabir. Kuceritakan  tentang kesibukan-kesibukan ayah selama ini, tentang pabrik-pabrik kelapa  sawit yang dikelola ayah, tentang kepergian ayah keluar kota dan keluar negeri. Tangisku tiada berujung, walaupun bibirku juga terus bercerita, terkadang tangis membuat ucapku tersendat, tapi demi keadilan untuk negeri ini harus aku lakukan walaupun perasaanku teriris-iris karenanya, walaupun naluriku sebagai seorang anak tak dapat berhenti membodoh-bodohkan diri sendiri yang tega melaporkan kejahatan ayahnya sendiri, namun disisi lain sebagai seorang warga negara yang tahu hakikat bernegara, naluriku membenarkan tindakanku saat ini, bukankah ayah telah merebut hak-hak  para rakyat kecil yang terkadang tidak mendapatkan remahan sekedar penyejuk perut anak-anaknya?  Bukankah ayah  telah merampas tempat tinggal hewan-hewan dihutan? Bukankah ayah telah mencemari udara sehingga mendapati udara bersih dibumi lancang kuning ini seperti mendapati berlian mahal? Bukankah telah banyak nyawa  melayang karena kerakusan ayah? dan beribu pertanyaan tak memiliki jawaban tersusun rapi dalam benakku, tapi inilah pesan-Nya sebagai jawaban atas tanyaku yang harus aku laksanakan dan terima suka dukanya.
***
            Malam seperti ikut merasakan kepedihanku, langit gelap kelam kelabu disertai awan hitam yang berarak tak kuat menahan air yang berkondensasi lalu menjatuhkan titik-titik hujan kebumi, cahaya lampu diberanda rumahku membias dalam gelombang air yang membentuk kubangan-kubangan mungil dihalaman rumahku, kulepas ayah dengan tangis, bunda mematung tetapi masih kentara air matanya yang terus menitik seirama dengan kian derasnya hujan. Kupeluk ayah dengan erat dan tangis yang tak kunjung reda, begitu juga ayah yang terisak, tak pernah kulihat ayah sesedih ini. “maafkan anakmu yah” ucapku lirih, suaraku tenggelam dalam irama hujan yang semakin menghentak. Kulihat ayah digelandang oleh pria berseragam, angin menemani ayah dan segala kepedihannya pergi kerumah barunya tanpa aku dan bunda. “Kalau dulu pahlawan negeri ini rela mengorbankan nyawanya untuk merebut kemerdekaan, masa iya aku tidak mau mengorbankan perasaanku untuk mempertahankan kemerdekaan?” Tanyaku lewat bisikan pada hati kecilku yang diam seperti batu. “bismillah tawakkaltu ‘ala Allah” dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah, ucapku lirih selirih bisikan angin pada ranting-ranting pepohonan malam ini. Kudekap jiwaku dalam linangan air mata yang tak kunjung usai. Dalam senyap berbalut luka kudengar bumi indonesia berucap lirih “terima kasih atas cintamu nak”.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar