Siang ini sang mega
berpijar membara menjilat-jilat bumi, cahayanya dengan pongah menyembul membias
kesegala arah. Hembusan angin bersama
hawa panas dan aroma debu kemarau yang tak terendus hujan menambah panasnya
suasana siang ini. Seorang anak dengan wajah tertunduk menitikkan peluhnya yang
mengucur sambut menyambut membasahi bumi, keadaan yang selaras dengan rambutnya
yang acak-acakan tak terurus serta tubuh kurusnya yang dibalut seragam putih
biru yang sudah memudar bahkan penuh tambalan. Sinar wajahnya yang membias ke
bumi dipantulkan kembali ke hamparan langit biru membentang dengan ujung
fatamorgana yang membentuk lengkungan indah, kiranya bumi ingin menceritakan kepada
penguasa langit bahwa diatas tubuhnya ada seorang remaja yang membutuhkan titik-titik
hujan sekedar penyejuk jiwanya yang gersang. Nama remaja itu roni. Ia tinggal
disebuah kampung tertinggal disudut provinsi riau tepatnya ditepian kabupaten
rokan hilir.
Setiap hari roni
menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk menempuh pendidikannya. Ayahnya
sudah tiada semenjak ia duduk di kelas 3 SD, waktu itu riau diselimuti kabut
asap yang menyebabkan ayah roni mengidap ispa, lalu dengan semena-mena sang
kabut asap membawa pergi ayah roni dalam pengembaraannya kealam keabadian meninggalkan
dunia fana dan membiarkan roni berjalan tanpa ayah dalam perjalanannya mengembara
kesetiap sudut dunia. Roni memiliki 2
orang adik yang masih kecil, keadaan memang begitu kejam merebut ayah roni dari
keluarganya sehingga mengharuskan roni membanting tulang membantu ibunya
mencari nafkah. Penghasilan ibu roni dari berjualan kue keliling tidaklah cukup
untuk membiayai hidup roni sekeluarga sehingga roni membantu ibunya dengan
mengandalkan keahliannya menyadap karet. Tetangganya yang memiliki kebun karet
memperkerjakan roni dikebun mereka, selain karena alasan kasihan juga
dikarenakan roni cukup terampil dalam menyadap karet. Dulu keluarga roni
memiliki sepetak kebun karet dan roni sering membantu ayahnya menyadap karet
sepulang sekolah, tetapi semenjak ayahnya diserang ispa dan kerena
kebutuhan-kebutuhan mendesak kebun yang sepetak tersebut dijual hingga jadilah
keluarga roni layaknya anak tiri dunia.
Dengan berbekal sepeda
tua nan ringkih setiap hari roni menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk
mencapai sekolah, belum lagi keadaan jalan yang sangat minim semakin menambah
onak dikehidupan roni. Roni yang seharusnya hidup layak seperti remaja-remaja
dikota kini harus bangun lebih awal dari matahari, mengayuh sepeda tua
bertemankan dingin pagi yang menusuk dan aroma kegelapan yang mengendus angkuh
serta terpaan embun yang menggoreskan titik-titik air dimata cekungnya. Namun
apalah daya seorang remaja miskin papa yang hanya menjadi saksi kemegahan dunia
tanpa pernah mencicipinya, hanya bisa mengendus wanginya kemajuan teknologi dan
modernnya peradaban tanpa pernah bisa menyentuhnya. Sekolah roni pun seperti
menara condong pisa, hanya saja dalam konteks yang berbeda. Siswa belajar
dengan bangunan ala kadarnya, berlantaikan bumi dan beratapkan genteng yang
sudah bolong disana-sini, jika sang mega sedang membara mereka ikut merasakan
panasnya menusuk kepala yang lewat melalui celah-celah menganga. Duduk
dibangku-bangku tua yang sudah tak kuat menyangga tubuh mereka, menulis dimeja
yang lebih pantas disebut sarang kepinding. Sungguh berbeda dengan keadaan
diluar garis keterbelakangan ini, mereka para pemimpin negeri hidup bergelimang
harta, bermandikan susu, tinggal di
rumah bak istana raja berhiaskan segala kemewahan yang membuat mata mereka buta
akan ketertinggalan rakyatnya, harta dan kekuasaan yang membuat telinga mereka
tuli akan jeritan-jeritan kepedihan dari kaum papa yang memang sengaja mereka lupakan.
Beban roni tidak
sekedar rentetan masalah ekonomi keluarganya dan minimnya gedung serta
fasilitas sekolah. Teman-teman roni yang juga berasal dari tepian kabupaten
rokan hilir juga menjadi beban perjuangan roni, sehingga roni butuh banyak
usaha untuk bisa hijrah dari keadannya sekarang. Terbiasa hidup dikalangan
orang berlatar belakang pendidikan tertinggal membuat teman-teman roni
terdoktrin keadaan bahwa mereka akan tetap seperti orang tua mereka sekalipun
mereka bersekolah berpeluh-peluh mengayuh sepeda menantang sang mega dengan
panasnya yang tiada meredup walaupun zaman kian renta. Roni ingin dunia melihat
bahwa anak-anak dari kampung tertinggal dapat mendobrak dunia tanpa uluran
tangan mereka sang pemilik cakar-cakar baja yang hidup mewah diatas ratap
tangis rakyatnya. Roni begitu yakin akan kekuatan hukum-hukum Sir Isaac newton,
dimana newton mengatakan bahwa benda akan tetap dalam keadaan diam atau
bergerak dengan kecepatan konstan apabila gaya yang bekerja pada benda tersebut
sama dengan nol, artinya jika roni hanya berpangku tangan akan keadaannya serta
sikap teman-temannya maka selamanya mereka akan vakum dalam ketertinggalannya,
mereka akan sama dengan orang tua mereka yang bodoh dan tak mencicipi apalagi
mempercayai bahwa pendidikan itu nikmat. Roni juga mengamini ucapan newton
dalam hukum ketiganya gaya aksi sama dengan gaya reaksi yang diartikan jika
roni melakukan usaha maka usahanya dibayar adil sama dengan besarnya usaha
tersebut, sang penguasa jagad raya tidak
pernah tidur dan tidak pernah lalai dalam mengawasi hambanya, janji-Nya pasti,
bahkan amalan seberat zarrah pun diperhitungkan-Nya.
Teman-teman roni
beranggapan bahwa sekolah hanya membuang-buang waktu dan uang saja, mereka
berpikir lebih baik berkerja membantu orangtua mereka. Satu persatu teman-teman
roni berhenti sekolah, mereka berguguran layaknya daun-daun diterbangkan angin.
Janji-janji yang dulu mereka tuliskan didinding sekolah untuk berjuang menuntut
ilmu telah menjadi saksi bisu lemahnya pemikiran mereka. Usaha roni mencegah
teman-temannya untuk tidak berhenti sekolah tiada berpengaruh apa-apa. Mereka
tetap meninggalkan bangku pendidikan yang mereka anggap tidak penting untuk
diperjuangkan. Jadilah roni seorang diri menantang arus kehidupan mayapada
dunia. Dulu mereka bersama-sama mengisi
halaman-halaman kosong kehidupan dengan
denyut nadi berapi-api penuh semangat seolah tak padam oleh rinai hujan. Sesudahnya,
mereka bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah.
Dan kini mereka terpisah dengan perasaan
yang asing hingga begitu sulit memahami
siapa diri sebenarnya. Di ruang kosong yang semula dipenuhi
bias cahaya sang mega, mereka bertatap muka penuh gairah. Di penjuru halaman
kosong itu kini bergantungan bola-bola
rindu penuh warna dan aroma, rindu akan menimba ilmu bersama mereka lagi dibangku
rapuh sepi bisu. Sang pemilik cakar-cakar baja menutup mata akan keadaan di sudut-sudut
yang jauh dari pemberitaan media. Kiranya menurut mereka megahnya pendidikan
dikota sudah cukup sebagai wakil bahwa di negeri merdeka ini pendidikan sudah
maju, hanya lalat-lalat yang biasa hinggap dikumuhnya sudut negeri yang dapat
memahami wajah pendidikan negeri ini. Semoga kupu-kupu masih mengepakkan sayap
indahnya terbang menemani pejuang-pejuang seperti roni yang membeli pendidikan
semahal berlian.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar