apakah anda senang berkunjung ke blog saya?

Sabtu, 18 Oktober 2014

SEMAHAL BERLIAN



Siang ini sang mega berpijar membara menjilat-jilat bumi, cahayanya dengan pongah menyembul membias kesegala arah. Hembusan angin  bersama hawa panas dan aroma debu kemarau yang tak terendus hujan menambah panasnya suasana siang ini. Seorang anak dengan wajah tertunduk menitikkan peluhnya yang mengucur sambut menyambut membasahi bumi, keadaan yang selaras dengan rambutnya yang acak-acakan tak terurus serta tubuh kurusnya yang dibalut seragam putih biru yang sudah memudar bahkan penuh tambalan. Sinar wajahnya yang membias ke bumi dipantulkan kembali ke hamparan langit biru membentang dengan ujung fatamorgana yang membentuk lengkungan indah, kiranya bumi ingin menceritakan kepada penguasa langit bahwa diatas tubuhnya ada seorang remaja yang membutuhkan titik-titik hujan sekedar penyejuk jiwanya yang gersang. Nama remaja itu roni. Ia tinggal disebuah kampung tertinggal disudut provinsi riau tepatnya ditepian kabupaten rokan hilir.
Setiap hari roni menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk menempuh pendidikannya. Ayahnya sudah tiada semenjak ia duduk di kelas 3 SD, waktu itu riau diselimuti kabut asap yang menyebabkan ayah roni mengidap ispa, lalu dengan semena-mena sang kabut asap membawa pergi ayah roni dalam pengembaraannya kealam keabadian meninggalkan dunia fana dan membiarkan roni berjalan tanpa ayah dalam perjalanannya mengembara kesetiap sudut  dunia. Roni memiliki 2 orang adik yang masih kecil, keadaan memang begitu kejam merebut ayah roni dari keluarganya sehingga mengharuskan roni membanting tulang membantu ibunya mencari nafkah. Penghasilan ibu roni dari berjualan kue keliling tidaklah cukup untuk membiayai hidup roni sekeluarga sehingga roni membantu ibunya dengan mengandalkan keahliannya menyadap karet. Tetangganya yang memiliki kebun karet memperkerjakan roni dikebun mereka, selain karena alasan kasihan juga dikarenakan roni cukup terampil dalam menyadap karet. Dulu keluarga roni memiliki sepetak kebun karet dan roni sering membantu ayahnya menyadap karet sepulang sekolah, tetapi semenjak ayahnya diserang ispa dan kerena kebutuhan-kebutuhan mendesak kebun yang sepetak tersebut dijual hingga jadilah keluarga roni layaknya anak tiri dunia.
Dengan berbekal sepeda tua nan ringkih setiap hari roni menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk mencapai sekolah, belum lagi keadaan jalan yang sangat minim semakin menambah onak dikehidupan roni. Roni yang seharusnya hidup layak seperti remaja-remaja dikota kini harus bangun lebih awal dari matahari, mengayuh sepeda tua bertemankan dingin pagi yang menusuk dan aroma kegelapan yang mengendus angkuh serta terpaan embun yang menggoreskan titik-titik air dimata cekungnya. Namun apalah daya seorang remaja miskin papa yang hanya menjadi saksi kemegahan dunia tanpa pernah mencicipinya, hanya bisa mengendus wanginya kemajuan teknologi dan modernnya peradaban tanpa pernah bisa menyentuhnya. Sekolah roni pun seperti menara condong pisa, hanya saja dalam konteks yang berbeda. Siswa belajar dengan bangunan ala kadarnya, berlantaikan bumi dan beratapkan genteng yang sudah bolong disana-sini, jika sang mega sedang membara mereka ikut merasakan panasnya menusuk kepala yang lewat melalui celah-celah menganga. Duduk dibangku-bangku tua yang sudah tak kuat menyangga tubuh mereka, menulis dimeja yang lebih pantas disebut sarang kepinding. Sungguh berbeda dengan keadaan diluar garis keterbelakangan ini, mereka para pemimpin negeri hidup bergelimang harta, bermandikan susu,  tinggal di rumah bak istana raja berhiaskan segala kemewahan yang membuat mata mereka buta akan ketertinggalan rakyatnya, harta dan kekuasaan yang membuat telinga mereka tuli akan jeritan-jeritan kepedihan dari kaum papa yang memang sengaja mereka lupakan.
Beban roni tidak sekedar rentetan masalah ekonomi keluarganya dan minimnya gedung serta fasilitas sekolah. Teman-teman roni yang juga berasal dari tepian kabupaten rokan hilir juga menjadi beban perjuangan roni, sehingga roni butuh banyak usaha untuk bisa hijrah dari keadannya sekarang. Terbiasa hidup dikalangan orang berlatar belakang pendidikan tertinggal membuat teman-teman roni terdoktrin keadaan bahwa mereka akan tetap seperti orang tua mereka sekalipun mereka bersekolah berpeluh-peluh mengayuh sepeda menantang sang mega dengan panasnya yang tiada meredup walaupun zaman kian renta. Roni ingin dunia melihat bahwa anak-anak dari kampung tertinggal dapat mendobrak dunia tanpa uluran tangan mereka sang pemilik cakar-cakar baja yang hidup mewah diatas ratap tangis rakyatnya. Roni begitu yakin akan kekuatan hukum-hukum Sir Isaac newton, dimana newton mengatakan bahwa benda akan tetap dalam keadaan diam atau bergerak dengan kecepatan konstan apabila gaya yang bekerja pada benda tersebut sama dengan nol, artinya jika roni hanya berpangku tangan akan keadaannya serta sikap teman-temannya maka selamanya mereka akan vakum dalam ketertinggalannya, mereka akan sama dengan orang tua mereka yang bodoh dan tak mencicipi apalagi mempercayai bahwa pendidikan itu nikmat. Roni juga mengamini ucapan newton dalam hukum ketiganya gaya aksi sama dengan gaya reaksi yang diartikan jika roni melakukan usaha maka usahanya dibayar adil sama dengan besarnya usaha tersebut,  sang penguasa jagad raya tidak pernah tidur dan tidak pernah lalai dalam mengawasi hambanya, janji-Nya pasti, bahkan amalan seberat zarrah pun diperhitungkan-Nya.
Teman-teman roni beranggapan bahwa sekolah hanya membuang-buang waktu dan uang saja, mereka berpikir lebih baik berkerja membantu orangtua mereka. Satu persatu teman-teman roni berhenti sekolah, mereka berguguran layaknya daun-daun diterbangkan angin. Janji-janji yang dulu mereka tuliskan didinding sekolah untuk berjuang menuntut ilmu telah menjadi saksi bisu lemahnya pemikiran mereka. Usaha roni mencegah teman-temannya untuk tidak berhenti sekolah tiada berpengaruh apa-apa. Mereka tetap meninggalkan bangku pendidikan yang mereka anggap tidak penting untuk diperjuangkan. Jadilah roni seorang diri menantang arus kehidupan mayapada dunia. Dulu mereka bersama-sama mengisi halaman-halaman kosong kehidupan  dengan denyut nadi berapi-api penuh semangat seolah tak padam oleh rinai hujan. Sesudahnya, mereka bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan kini mereka terpisah  dengan perasaan yang asing hingga  begitu sulit memahami siapa diri sebenarnya. Di ruang kosong yang semula dipenuhi bias cahaya sang mega, mereka bertatap muka penuh gairah. Di penjuru halaman kosong itu kini  bergantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma, rindu akan menimba ilmu bersama mereka lagi dibangku rapuh sepi bisu. Sang pemilik cakar-cakar baja menutup mata akan keadaan di sudut-sudut yang jauh dari pemberitaan media. Kiranya menurut mereka megahnya pendidikan dikota sudah cukup sebagai wakil bahwa di negeri merdeka ini pendidikan sudah maju, hanya lalat-lalat yang biasa hinggap dikumuhnya sudut negeri yang dapat memahami wajah pendidikan negeri ini. Semoga kupu-kupu masih mengepakkan sayap indahnya terbang menemani pejuang-pejuang seperti roni yang membeli pendidikan semahal berlian.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar